Wilayah Kabupaten Pohuwato, Gorontalo dikenal dengan lanskap pertanian yang dihiasi oleh hamparan kebun jagung di lereng-lereng bukit. Meskipun indah di pandangan mata, tapi pesona kebun jagung ternyata memiliki bahaya besar. Yakni, erosi permukaan tanah karena pengolahan tanpa terasering atau teknik konservasi tanah.
Hal ini membuat lapisan tanah paling atas atau top soil perlahan menipis, tergerus, dan mengalir jauh bersama air hujan yang mengisi sungai-sungai sekunder dan primer. Selama bertahun-tahun, sungai itu dipenuhi sedimen tanah dari lahan-lahan pertanian lalu mendangkal. Daya tampung air sungai pun akhirnya merosot karena mengalami dua hal sekaligus, yaitu penyempitan dan pendangkalan.
Dari sinilah masalah beranak-pinak. Di hulu atau perbukitan, lahan pertanian turun kelas menjadi lahan kritis, lahan yang sudah kehilangan unsur hara. Selain itu, masalah lain yang timbul adalah air sungai menjadi cepat meluap karena telah mengalami penyempitan dan pendangkalan yang menyebabkan seringnya terjadi banjir.
Lantas, bagaimana dengan tanaman perkebunan seperti kakao? Ini sedikit aneh. Sebab, kakao dan jagung dikembangkan dengan metode yang berlawanan. Tanaman palawija, seperti jagung mestinya dikembangkan di lahan datar atau di perkarangan rumah. Sedangkan kakao yang idealnya ditanam di lereng-lereng bukit malah banyak berada di lahan datar dan landai.
Paparan yang disebutkan di atas menjadi latar belakang alasan fasilitator Burung Indonesia melatih petani membuat kebun kakao di lahan miring. Kegiatan itu termasuk dalam sesi sekolah lapang Good Agriculture Practices (GAP) kakao yang berlangsung tiga bulan terakhir di Kabupaten Pohuwato.
Intervensi pertanian yang dilakukan tidak hanya untuk mengoreksi ruang komoditas pertanian yang salah ruang tetapi juga membuat kebun kakao yang ramah bagi burung serta tangguh menghadapi perubahan iklim. Konsep yang dibangun adalah Diversity Cocoa Agroforestry (DCA).
Kebun DCA merupakan salah satu model kebun yang cerdas iklim. Disebut dimikian karena agroforestri kakao dapat memodifikasi iklim mikro. Saat musim panas terlalu panjang, daun kakao biasanya gugur dalam jumlah yang banyak. Berkurangnya jumlah daun tentu berpengaruh pada metabolisme tanaman dimana jumlah nutrisi yang bisa dimasak daun melalui proses fotosistesis menjadi jauh berkurang. Ini menyebabkan buah berkurang, sama halnya dengan kesehatan tanaman.
Kebun DCA memiliki fungsi lain, yaitu membuat sistem hidrologi tanah menjadi lebih baik karena buah-buahan atau pohon yang dapat menahan air dan menahan erosi tanah. Selain itu, kebun DCA juga memungkinkan agroeksosistem kebun lebih baik karena memungkinkan burung untuk hadir. Burung penting untuk mengurangi ulat dan serangga yang menjadi hama tanaman kakao.
Kebun DCA dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan kebun kakao monokultur. Keragaman jenis tanaman dalam kebun DCA membawa hasil yang beragam bagi petani. Tanaman empon-empon, seperti jahe, kunyit, temulawak, kencur, dan sejenisnya dapat memberikan hasil dalam enam bulan.
Tidak hanya tanaman empon-empon, pisang yang ditambahkan ke dalam sistem kebun DCA dapat menjadi sumber nutrisi keluarga serta sumber uang tunai bagi petani. Demikian halnya dengan tanaman buah-buahan maupun kelapa.
Sifat kebun DCA yang fleksibel membuat kebun DCA dapat disesuaikan dengan kebutuhan petani. Tanaman legum yang berfungsi sebagai pelindung kakao dapat menjadi sumber pakan kambing bagi petani yang ingin mengintegrasikan kebun dengan peternakan skala rumah tangga. Jenis tanaman legum yang bisa dipakai, antara lain, turi, gamal, lamtoro, dan kaliandra. Semua jenis yang disebutkan di atas sangat disukai ternak kambing.
Dalam sistem DCA lahan miring, teknik untuk konservasi tanah menggunakan tanaman yang berfungsi menahan laju erosi tanah permukaan. Tanaman yang dapat berfungsi ganda, misalnya, nanas, serai wangi, kacang-kacangan, atau rumput gajah. Rumput gajah dapat mendukung sistem integrasi ternak besar (sapi) dengan pertanian kakao. Prinsip-prinsip dalam penerapan kebun DCA adalah keserasian tanaman, jarak tanam, pengaturan letak tanaman serta estetikanya. Dengan penerapan prinsip-prinsip DCA itu, kebun kakao menjadi lebih tangguh pada musim kemarau dan musim hujan serta agroekositem kebun membuat keragaman hayati dan simpanan karbon di kebun kakao menjadi lebih baik.
***
Teks dan foto oleh: Marahalim Siagian