Dahulu luntur gunung yang berada di Pulau Jawa ini dimasukkan ke dalam satu spesies, bersama luntur gunung yang terdapat di Pulau Sumatera. Namun sekarang, luntur gunung dipisah menjadi luntur jawa (Apalharpactes reinwardtii) dan luntur sumatera (Apalharpactes mackloti). Perbedaan sedikit pada warna tunggir dan ukuran ekor cukup menjadi alasan pemisahan keduanya menjadi spesies tersendiri. Lalu, apa pentingnya dua spesies burung ini?
Luntur merupakan salah satu spesies burung khas daratan oriental atau sebagian besar Asia. Dari sekitar 40 spesies anggota suku Trogonidae di bumi ini, Indonesia kebagian sembilan spesies, dengan dua spesies yang telah disebutkan di atas merupakan endemis Indonesia. Spesies-spesies luntur umumnya berada di daerah-daerah pegunungan, yang tersebar hanya di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Betul, spesies-spesies ini tidak sedikitpun keluyuran sampai ke Sulawesi, Maluku, apalagi Papua, walapun sama-sama di Indonesia. Jangankan spesies atau marganya, sukunya sekalipun tidak pernah menyentuh kawasan lain di Indonesia, di luar Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Kok bisa?
Pengaruh Biogeografi
Kelompok spesies luntur merupakan salah satu gambaran yang dapat dijadikan contoh, bahwa jika dicermati, ada pembagian wilayah berdasarkan sebaran spesies-spesies makhluk hidup di bumi ini. Istilah kerennya adalah biogeografi. Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang pernah malang melintang di Kepulauan Nusantara ini sekitar 150 tahun yang lalu, membangun bukti-bukti terkait persebaran flora-fauna melalui catatan perjalanannya di Nusantara. Indonesia memang merupakan salah satu contoh terbaik, bagaimana biogeografi itu bekerja.
Mempelajari biogeografi suatu kawasan, dapat dilihat secara langsung tanda-tandanya dari penyebaran spesies makhluk hidup. Burung merupakan spesies yang paling mudah untuk diamati, karena informasi penyebaran spesies-spesies burung di Indonesia sudah cukup lengkap. Namun jika ingin mengetahui apa penyebab suatu spesies atau kelompok spesies tertentu hanya tersebar di suatu kawasan tertentu, maka pengetahuan mengenai sejarah geologi ataupun pergerakan lempeng benua akan sangat membantu. Sejarah geologi suatu kawasan sangat memengaruhi penyebaran suatu kelompok spesies tertentu.
Konon, semua teori biogeografi didasari saat bumi ini berada pada Kala Plestosen, sekitar tiga juta sampai delapan ribu tahun yang lalu. Wow, zaman kapan tiga juta tahun yang lalu itu? Pada zaman lampau itu, daratan ataupun benua di bumi belumlah seperti saat ini. Kala itu juga diperkirakan planet bumi sangat tidak stabil dan beberapa kali mengalami perubahan. Baik itu ketika periode hangat dan basah (pluvial), sampai periode dingin dan kering (interpluvial). Pada periode interpluvial inilah yang biasa dikenal sebagai zaman es (glacial) yang menyebabkan permukaan lautan turun sampai 100 meter. Lalu, apa hubungannya dengan burung luntur yang dibicarakan di awal tadi?
Pada zaman es ini, daratan dan kepulauan Asia Tenggara masih jauh dari bentuk seperti sekarang. Lebih kurang 10 ribu tahun yang lalu, karena lautan turun sampai sekitar 100 meter, maka Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, semuanya masih bersatu dengan daratan Asia. Namun kawasan ini masih tetap terpisah dari Sulawesi, apalagi Maluku dan Papua yang lebih ke timur. Pada saat itulah, selama ribuan tahun, beragam makhluk hidup dari Asia terus menyebar mengisi setiap relung habitat dan kehidupan di ketiga pulau besar ini, tentu begitu juga sebaliknya. Sehingga tak heran, banyak sekali kemiripan antara satwa Asia dengan satwa di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan ini. Si luntur yang kita bicarakan dari tadi itu, merupakan salah satu burung khas Asia yang sebagian spesiesnya hidup sampai ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Endemis Kawasan
Mengenai keberadaan burung- burung Asia di kawasan Sunda, Pulau Jawa memiliki catatan yang cukup menarik. MacKinnon (1992) dalam buku Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan menyebutkan, bahwa setidaknya terdapat 30 spesies burung-burung hutan dari Asia yang masih ada di Jawa, namun justru tidak ada di Sumatera dan Kalimantan. Spesies-spesies ini seperti merak hijau (Pavo muticus) dan takur bultok (Psilopogon lineatus). Ini diduga karena sebagian Jawa masih memiliki iklim yang lebih kering, yang diduga mirip dengan iklim pada saat kawasan Sunda masih bersatu dengan Asia.
Salah satu teori terkait biogeografi kepulauan menyebutkan bahwa pulau-pulau besar akan memiliki lebih banyak jumlah spesies daripada pulau-pulau kecil. Namun pulau yang lebih jauh atau lebih lama terpisah dari daratan utama umumnya akan memiliki persentasi spesies endemis yang lebih tinggi. Teori ini sangat mudah dipahami dengan melihat kenyatakan spesies-spesies burung di kawasan Sunda. Pulau Jawa yang lebih kecil dan jauh dari daratan induk Asia dibandingkan Sumatera dan Kalimantan, memiliki jumlah spesies burung yang paling sedikit dari ketiga pulau tersebut. Namun proporsi spesies burung endemis di Jawa yang paling tinggi. Hal ini juga disebabkan karena Jawa lebih dahulu terpisah dari daratan Asia daripada Sumatera dan Kalimantan, sehingga lebih lama pula pulau ini terisolasi. Begitu juga dengan Kalimantan. Karena lebih besar, maka jumlah spesies burung di Kalimantan lebih banyak daripada di Jawa. Tetapi karena lebih jauh dari daratan Asia, maka proporsi jumlah spesies endemisnya lebih banyak daripada Sumatera.