Berawal dari sering membeli kepiting bakau di Desa Ambelang, Risal dan rekan-rekannya di Perkumpulan Salanggar mengetahui bahwa habitat mangrove di desa itu sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Desa Ambelang yang berada di Pulau Peling, Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan salah satu tempat yang terkenal dengan kualitas kepiting bakau hasil tangkapan nelayan setempat. Kepiting hasil tangkapan nelayan Ambelang selalu laris manis dibeli oleh masyarakat Banggai Kepulauan, bahkan hasil tangkapannya rutin dikirim ke kota seberang pulau seperti Luwuk, di Kabupaten Banggai.
Namun, di balik kisah manis itu ada hal pahit yang mengintai para nelayan dan masyarakat Ambelang. Pohon-pohon mangrove yang menjadi habitat penting bagi kepiting bakau semakin berkurang karena ditebangi oleh masyarakat, baik yang berasal dari Ambelang atau luar desa tersebut.
Kayu yang berasal dari pohon mangrove digunakan sebagai kayu bakar untuk dijual dan dipakai sendiri. Selain itu, batang-batang mangrove itu juga dipakai sebagai bagian dari atap rumah atau yang disebut juga dengan kaso.
Menurut Direktur Perkumpulan Salanggar, Risal, hal ini berdampak pada lokasi pencarian kepiting bagi para nelayan. Bahkan, ada salah satu nelayan yang mencari kepiting sampai ke Pulau Taliabu yang masuk ke dalam wilayah Provinsi Maluku Utara.
“Desa ini sangat jarang mendapatkan intervensi. Dulu sempat ada, tapi mangrove yang ditanam gagal tumbuh,” kata Risal.
Berbekal informasi awal yang telah didapatkan, Perkumpulan Salanggar mulai melakukan kegiatan di Desa Ambelang sejak tahun 2021. Sembari tertawa, Risal mengatakan awalnya sempat pesimis dalam melaksanakan program di Desa Ambelang. Pasalnya, masyarakat Ambelang dikenal sebagai orang-orang yang keras dan juga pembangkang.
Salah satu alasan masyarakat Ambelang disebut pembangkang karena sering kali menolak pegawai pemerintahan untuk menjalankan program di desa tersebut. Menurut masyarakat setempat, mereka sebelumnya sering dikecewakan dengan program pemerintah yang menjalankan program tanpa berdiskusi dengan masyarakat sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan malah merugikan.
Menurut Risal, ia dan rekan-rekannya sempat kesusahan untuk mendekati masyarakat desa. Jika Perkumpulan Salanggar melakukan sosialisasi, hanya segelintir orang saja yang datang.
Lambat laun hubungan antara Perkumpulan Salanggar dan masyarakat Ambelang terjalin dengan sangat dekat. Risal menuturkan, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program menjadi hal utama yang mendorong partisipasi masyarakat menjadi tinggi.
“Pelan-pelan kami ajak ngobrol santai tentang mangrove, kepiting, dan keadaan lingkungan kalau mangrove hilang. Masyarakat juga kami libatkan untuk pemetaan luasan mangrove, karena justru mereka yang paham dengan lokasi dan kondisi medan,” tutur Risal.
Terlaksananya program dari Perkumpulan Salanggar juga tidak lepas dari keterlibatan dan dukungan masyarakat, salah satunya adalah Ato. Pria berusia 44 tahun itu menjadi benteng terakhir habitat mangrove di Desa Ambelang. Ia sempat disebut gila lantaran rutin menanam mangrove sejak tahun 2007. Tak terhitung lagi berapa jumlah bibit mangrove yang telah ditancapkan olehnya.
Ato mengatakan keberadaan Perkumpulan Salanggar menjadi salah satu hal yang memicu semangatnya, karena merasa ada teman yang memiliki tujuan yang sama dengan dirinya. Dulu ia menanam mangrove tanpa ilmu dan informasi yang memadai. Dengan adanya Risal dan rekan-rekannya, Ato mendapatkan hal baru dan berhubungan dengan yang dilakukannya selama ini.
“Mama-mama di sini juga belajar buat sabun cuci piring dari daun mangrove dan kapidada. Cuma sekali belajarnya, tapi buat dan pakai terus,” ujar Ato.
Keterlibatan Ato dan masyarakat Desa Ambelang dalam upaya penyelamatan mangrove begitu besar. Saat ini, Ambelang memiliki tempat pembibitan mangrove berjenis Rhizopora dan Bruguira yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Bentuk tempat pembibitan pun unik, bagaikan sebuah kapal.
Bangunan berbentuk kapal ini didirikan dari kayu hasil sumbangan masyarakat. Proses pembangunannya juga dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini dilakukan karena mereka sadar semangat untuk menjaga mangrove harus dijaga dan dirawat. Saat ini, bangunan itu juga dijadikan tempat bermain dan belajar bagi anak-anak.
Menurut Ato, keterlibatan masyarakat dalam penyelamatan mangrove tidak hanya dilakukan oleh orang tua saja. Saat ini anak-anak juga sering terlibat saat pembibitan mangrove. Hal ini dilakukan anak-anak secara sukarela tanpa diminta oleh orang tuanya.
“Mungkin karena melihat ibu atau bapaknya sering tanam mangrove, jadi anak-anak pada ramai ikut menanam. Tidak ada yang minta, tapi mereka datang sendiri,” katanya sambil tersenyum.
Upaya melelahkan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Ambelang dan Perkumpulan Salanggar sebagai mitra Program Kemitraan Wallacea II yang diusung Burung Indonesia melalui dukungan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) mulai membuahkan hasil. Saat ini para nelayan tidak perlu lagi melaut hingga ke pulau atau perairan yang jauh dari desa. Meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap perkembangan kepiting bakau juga ditunjukkan dengan melepaskan anakan kepiting bakau yang masuk ke perangkap dan hanya mengambil yang sudah dewasa dan besar saja.
Sekarang masyarakat sendiri yang menjaga kawasan mangrove di desanya. Mereka juga aktif memperingatkan orang yang menebang dan mengambil pohon mangrove. Jika dahulu desa ini dikenal sebagai desa yang bengal, mungkin saat ini mereka juga “bengal” terhadap keselamatan mangrove dan desanya.