Berdasarkan peraturan perundang-undangan, kawasan konservasi terdiri dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang terwujud menjadi kawasan seperti taman nasional, suaka alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru. Setiap kawasan memiliki fungsi yang amat penting bagi pelestarian keragaman hayati dan juga bagian dari sistem penyangga kehidupan, seperti penyediaan air dan pengaturan iklim yang dimanfaatkan oleh manusia.
Dari sana muncul kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian kawasan konservasi demi keberlanjutan kehidupan. Namun faktanya, banyak kawasan konservasi kini justru dirambah dan dirusak. Penebangan liar, perambahan hutan, dan perburuan satwa menghancurkan banyak kawasan konservasi, tidak terkecuali di kawasan Wallacea. Tercatat Suaka Margasatwa Karakelang Utara dan Selatan, Cagar Alam Feruhumpenai, Taman Wisata Alam Ruteng dan masih banyak kawasan konservasi lainnya terus dirambah dari tahun ke tahun.
Baru-baru ini Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) merancang satu peraturan tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Tata Cara Kemitraan Konservasi Pada KSA dan KPA. Adanya Juknis ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya kemitraan antara unit pelaksana teknis (UPT) kawasan konservasi dengan masyarakat. Peraturan baru ini sekaligus melengkapi ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya tentang penyelenggaraan kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Program Kemitraan Wallacea yang dilaksanakan oleh Burung Indonesia bersama mitra-mitranya banyak bekerja di KSA/KPA dan wilayah penyangganya. Kemitraan konservasi dan berbagai ruang kebijakan yang ada dipandang dapat mewadahi berbagai inisiatif konservasi berbasis masyarakat yang dikembangkan di banyak wilayah di Wallacea. Untuk itu, Burung Indonesia dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) atas dukungan Ditjen KSDAE menyelenggarakan rapat koordinasi kemitraan konservasi yang berlangsung di Sylvia Hotel, Labuan Bajo, 10-11 Januari 2018.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman bersama mengenai ruang kebijakan yang ada di lingkup Direktorat Jenderal KSDAE bagi terselenggaranya kemitraan konservasi, mempelajari peluang dan tantangan dalam pengelolaan KSA/KPA lewat pertukaran pengalaman dan studi kasus oleh para peserta, dan mengembangkan agenda kerja sama antara Burung Indonesia dan mitra-mitra kerjanya dengan UPT KSA/KPA di Wallacea.
Direktur Eksekutif Burung Indonesia, Dian Agista, mengatakan dalam berkegiatan pihaknya banyak berkonsentrasi di kawasan Wallacea yang dalam konteks Program Kemitraan Wallacea bekerja di tujuh area prioritas pendanaan, dan satu di Timor Leste. “Kegiatan rapat koordinasi ini penting tidak hanya untuk koordinasi antara Burung Indonesia dan mitra program, tetapi juga dengan unit teknis Ditjen KSDAE agar dapat terus mendorong aksi konservasi keragaman hayati baik untuk burung dan taksa lainnya di kawasan Wallacea,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Sudiono, yang hadir untuk mewakili penyampaian sambutan Direktur Jenderal KSDAE yang berhalangan hadir menyampaikan pengelolaan kawasan konservasi masih memiliki potensi dan kekuatan yang dapat menjadi modal dalam mewujudkan praktik pengelolaan kawasan yang efektif. Oleh karena itu, para pihak yang tergabung dalam Kemitraan Konservasi di kawasan Wallacea ini dapat memosisikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam berbagai model pengelolaan kawasan, dan meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat, mitra, dan para pihak terkait lainnya.
“Proses perencanaan hingga pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi juga perlu melibatkan unit pengelolaan terkecil dan senantiasa melakukan pemutakhiran dan rekonsiliasi data dan informasi mengenai potensi dan permasalahan setiap kawasan. Tak juga luput dari perhatian pemerintah, Ditjen KSDAE juga mengingatkan akan kapasitas sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan serta terus berupaya membangun kemitraan dan jejaring kerja,” katanya.
Mewujudkan perlindungan yang efektif bagi kawasan konservasi memang pekerjaan yang membutuhkan dukungan kerja sama yang kuat. Begitu besar tantangan yang berakar dari masalah kemiskinan setempat, pengaruh dari luar, serta terbatasnya keterampilan dan akses masyarakat lokal sehingga menjadikan eksploitasi alam sebagai sumber uang tunai cepat.
Upaya penegakan hukum bagi para pelanggar saja ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah. Bahkan pendekatan ini sudah tidak lagi dijadikan panglimanya. Apalagi jika mengingat konflik laten berkaitan dengan tata batas dan sejarah tenurial setempat, masalah jadi tidak sesederhana hitam dan putih. Meski tidak terhitung banyaknya kawasan konservasi yang keberadaannya digugat oleh masyarakat. Akan tetapi proses mediasi dan kemitraan yang baik tidak hanya mampu mengakhiri konflik, tetapi bahkan membuka peluang-peluang baru yang muncul karena adanya kemitraan. (MEI)
***
Program Kemitraan Wallacea merupakan program kemitraan yang dilaksanakan oleh Burung Indonesia atas dukungan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) untuk meningkatkan kapasitas dan peran organisasi masyarakat sipil dalam pelestarian keragaman hayati di kawasan biogeografi Wallacea.