KPAD, Kesepakatan Pelestarian Alam Desa
Di seluruh lokasi kerjanya, Burung Indonesia selalu mencoba untuk melakukan konservasi dengan menangani masalah kunci melalui Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD). Proses ini memungkinkan semua pemangku pihak kunci berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya lokal mereka. Mereka dapat bernegosiasi dan bermusyawarah mengenai proses pengelolaan sumber daya lokal mereka. Sehingga, akhirnya didapatkan kesepakatan yang terwujud dalam suatu dokumen yang menjabarkan komitmen, peran serta tanggung jawab tiap pihak mulai dari tingkat desa. Selain sebagai proses, KPAD juga merupakan seperangkat alat sosial untuk menggali dan mengenali keadaan, potensi maupun sejarah desa serta sumber daya penghidupan yang ada.
Di Sumba, Burung Indonesia mengembangkan konsep KPAD bersama masyarakat di 22 desa (saat ini menjadi 31 desa karena proses pemekaran)yang tersebar di dalam dan di sekitar area taman nasional (TN). Masyarakat didampingi sehingga akhirnya dapat mengemukakan aspirasi mereka di tingkat kabupaten, termasuk dalam hal tata batas.
Setelah lebih dari 15 tahun terus mengawali proses tata batas, akhirnya di tahun 2014 tercapai temu gelang. Konflik batas antara TN dan masyarakat yang terjadi selama sekitar 20 tahun akhirnya selesai. Investasi sumber daya untuk melaksanakan KPAD di Sumba tak hanya menjamin keutuhan kawasan perlindungan, tetapi juga menjaga keragaman hayati Sumba yang unik dan mendukung penghidupan keberlanjutan masyarakat lokal.
Penyebutan KPAD sendiri dapat berubah bergantung pada lokasi kerja Burung. Di Sangihe, KPAD disebut dengan istilah KEPAK (Kesepakatan Pelestarian Alam Kampung). Lima kampung di sekitar hutan lindung berproses hingga menghasilkan KEPAK di tiap kampungnya. Di semua desa tersebut, butir KEPAK terwadahi dalam Peraturan Kampung. Bahkan, salah satu butir KEPAK ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Kepulauan Sangihe (no. 7/2005) tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Sahendaruman.
Sementara di Halmahera, Burung berproses dengan enam desa sekitar TN Aketajawe-Lolobata dan mengembangkan KPAD di desa-desa tersebut. Butir seperti penebangan pohon dalam kawasan, pemeliharaan ternak, pemanenan lestari udang dan ikan di sungai, pelayanan pendidikan dan kesehatan tertuang di Peraturan Desa.
Ketika Burung Indonesia meluncurkan pendekatan konservasi bentang alam di Flores, KPAD pun tetap dipakai sebagai alat dan proses awal bersama masyarakat untuk melakukan konservasi. Isi butir KPAD kontekstual dengan keadaan di desa, sehingga ditemukan variasi butir yang spesifik lokasi kerja. Namun, sama halnya dengan lokasi kerja lain, beberapa butir disepakati sebagai kepentingan bersama yang kunci sehingga dijadikan Peraturan Desa atau Perdes. Bahkan, banyak butir yang akhirnya dituangkan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) hingga menjadi program kerja pemerintah desa, terutama butir terkait pengembangan infrastruktur.
Saat ini, lokasi kerja termuda Burung Indonesia di Gorontalo yang meluncurkan pendekatan bentang alam dengan mengelola konsesi restorasi ekosistem juga sedang melaksanakan proses KPAD. Diharapkan desa-desa dampingan terfasilitasi untuk menentukan penggunaan dan batasan yang sesuai untuk mengelola sumber daya mereka, termasuk hutan.
Sementara Hutan Harapan yang lebih dulu mengelola konsesi restorasi ekosistem di hutan dataran rendah Jambi dan Palembang, menggunakan KPAD untuk mengembangkan tata kelola hutan bersama dengan masyarakat adat Batin Sembilan.