Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, telah mendaulat Danau Sano Nggoang sebagai salah satu tujuan wisata di Flores. Terletak di Kecamatan Sano Nggoang, sekitar 60 kilometer dari Kota Labuan Bajo, danau vulkanik seluas 513 hektar ini menyuguhkan perpaduan keindahan alam yang asri dan kehidupan sosial masyarakat yang arif.
Bagi pelancong, menyelami kearifan budaya lokal sekaligus menikmati keragaman hayati merupakan daya tarik tersendiri.
Diskusi Publik Ekowisata (Foto : BI/Feri Irawan)
Namun, maraknya jual beli lahan yang terjadi di sekitar Sano Nggoang kepada pemodal asing membuat masyarakat resah. Untuk itu, pada 26 Maret 2014 diadakan diskusi publik sebagai wadah konsultasi masyarakat dan pemerintah setempat guna menyikapi kehadiran pemilik modal yang ingin berinvestasi. Diskusi bertajuk “Investor, Berkah ataukah Bencana dalam Pengembangan Pariwisata di Danau Sano Nggoang” diselenggarakan oleh Lembaga Tata Kelola Ekowisata Desa Wae Sano yang bertempat di Aula Kantor Desa Wae Sano, Kampung Nunang, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat.
Kepala Desa Wae Sano, Yoseph Subur, dalam sambutannya menjelaskan bahwa pesona Sano Nggoang, potensi budaya, serta kekhasaan flora dan fauna yang ada di sekitar danau, menjadi modal utama yang harus dikelola. Adanya jual-beli lahan kepada pemodal asing merupakan bukti bahwa magnet investasi pariwisata Sano Nggoang mulai menggeliat.
Menurut Yoseph, tantangan terbesar bagi pemerintah desa dan masyarakat setempat adalah menjaga keaslian alam warisan leluhur di tengah godaan investasi. Terkait adanya beberapa warga di Desa Wae sano yang telah menjual sebagian tanahnya kepada pemodal asing, Yoseph menghimbau agar jangan sampai nantinya masyarakat menjadi tamu di tanah leluhurnya sendiri.
“Jangan sampai masyarakat lokal tergeser suatu saat nanti seperti pepatah lama orang Manggarai “Long Ata Long – Long Ata Lonto”. Tentunya kita tidak menginginkan hal itu terjadi” ujar Yoseph.
Tiburtius Hani, Team Leader Burung Indonesia Program Mbeliling, menyoroti alasan alih kepemilikan lahan. Menurut Tiburtius, jual beli tersebut adalah dampak dari lemahnya pengelolaan ‘bantuan modal’ yang selama ini digulirkan oleh pemerintah daerah. Bantuan modal yang digulirkan melalui skema Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Desa Mandiri Pangan, Program Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), maupun skema lainnya belum mampu menjawab kebutuhan finansial masyarakat setempat, baik untuk keperluan jangka pendek maupun menengah. Perlu dilakukan upaya pembenahan dan penguatan tingkat desa: mulai dari skema penyaluran bantuan, pengawasan, hingga pendampingan usaha kelompok.
Diskusi ini akhirnya merekomendasikan Pembentukan dan penguatan lembaga keuangan desa, baik dalam bentuk koperasi ataupun Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP).*