Kebun kakao adalah sumber pakan serangga yang melimpah karena kakao menghasilkan bunga yang cukup banyak. Dalam kondisi normal, satu pohon kakao dapat menghasilkan bunga sekira 6.000 hingga 10.000 per tahun. Dari jumlah itu, hanya lima persen yang menjadi buah dan hanya satu persen yang mencapai tahap buah matang. Banyak buah kakao mati pada tahap buah pentil, buah baterai, hingga buah besar.
Satu hektare pohon kakao bisa diisi dengan 800 pohon dalam kerapatan sedang, lebih dari 1.000 pohon per hektare dalam kerapatan tinggi. Jika satu pohon kakao menghasilkan 6.000 hingga 10.000 per tahun untuk kakao kerapatan sedang, jumlah bunga yang dihasilkan mencapai 4,8 juta hingga 8 juta per hektare per tahun.
Kebun kakao di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo umumnya berada di lanskap yang sama atau di lanskap kebun campuran kakao dengan kelapa atau buah-buahan. Kebun kakao monokultur maupun kakao agroforestri sederhana sejatinya dapat mendukung budi daya lebah madu. Tetapi, mengapa lebah madu kerap tak tampak di perkebunan kakao?
Hal masih ini perlu penyelidikan lebih saksama. Penemuan koloni lebah apis cerana di kebun kakao akhir-akhir ini agak mengejutkan. Dalam sebulan terakhir, saya menemukan dua koloni apis cerana di kebun kakao. Satu koloni sudah dikonfirmasi oleh Hilger, ahli lebah berkebangsaan Jerman yang menjadi mitra Burung Indonesia. Lebah yang dikorfirmasi adalah apis cerana yang ada di Desa Makarti Jaya pada kebun demplot Burung Indonesia di Agriculture Learning Centre (ALC).
Saya mencoba mencari tahu alasan keberadaan lebah di kebun kakao itu. Pencarian ini membawa pada jawaban bahwa bisa jadi koloni apis cerana di kebun kakao tersebut tidak pernah terpapar dengan pestisida. Aktivitas pemberantasan hama dan penyakit kakao yang menggunakan pestisida kimia rupanya menghalangi apis cerana masuk ke kebun kakao.
Hal serupa terjadi di kebun kakao yang berada puluhan kilometer dari Desa Makarti Jaya. Di Desa Malango, Kecamatan Taluditi, terdapat satu petak kebun kakao seluas satu hektare yang dalam lima tahun terakhir tidak pernah lagi terpapar pestisida. Hal ini memperkuat asumsi awal bahwa pestisida yang menghalau apis cerana dari kebun kakao selama ini.
Selain pestisida, asap pembakaran limbah pertanian juga menggangu kehadiran lebah di kebun kakao. Hal ini sudah lama diketahui dan dibuktikan. Di Sumatera, kebakaran hutan yang memproduksi banyak asap berkorelasi dengan penuruan produksi madu. Sementara di Gorontalo, pembakaran limbah pertanian jagung yang menghasilkan banyak asap juga berkorelasi dengan kelangkaan perjumpaan koloni apis di lanskap pertanian jagung.
Apis cerana adalah salah satu lebah penghasil madu. Spesies lebah ini dapat memproduksi madu sebanyak enam hingga 12 kilogram per tahun per koloni. Ada empat jenis lebah penghasil madu yang sudah dikonfirmasi di Indonesia. Tiga jenis lainnya adalah apis mellifera atau lebah unggul yang dapat memproduksi madu sebanyak 35 hingga 40 kilogram per tahun per koloni. Apis dorsata atau lebah liar dapat memproduksi madu sebanyak 50 hingga 60 kilogram per pohon. Apis trigona atau lebah lanceng dapat memproduksi satu hingga 3 kilogram per tahun untuk setiap koloni.
Keberadaan apis cerana di kebun kakao sesungguhnya bisa berdampak positif bagi persentase keberhasilkan penyerbukan kakao karena tanaman kakao berasosiasi dan bersimbiosis dengan serangga. Entwistle (1972) melaporkan terdapat 1.500 spesies serangga yang berasosiasi dengan tanaman kakao, salah satunya adalah lebah penghasil madu.
Dengan praktik baik pertanian kakao (good agriculture practices) yang sedang didorong oleh Burung Indonesia di sebelas desa, dua kecamatan di Kabupaten Pohuwato, perlahan-lahan penggunaan pestisida akan dikurangi. Dengan pemangkasan pohon pelindung dan pohon kakao, panen sering dan teratur, sanitasi kebun kakao, serta peningkatan pupuk organik mensubtitusi sebagian pupuk kimia yang dapat menciptakan ekosistem ramah bagi lebah-lebah penghasil madu.
Penggunaan pestisida dapat ditekan ke titik terendah dengan metode sarungisasi buah kakao atau teknik oles buah kakao yang sedang tren saat ini. Jika ekosistem ini sudah terbentuk, peluang budidaya lebah madu di kebun kakao menjadi terbuka. Tentunya, hal ini dapat memberi nilai tambah bagi petani dengan adanya diversifikasi hasil pendapatan dari kebun kakao yang dikelola secara berkelanjutan.