Tahun demi tahun, Pulau Jawa semakin padat penduduknya. Sebagai pusat pemerintahan dan lokasinya yang mudah dijangkau, Pulau Jawa menjadi tempat bagi banyak orang untuk mencari asa demi hidup yang lebih baik. Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Jawa, tak luput dari risiko yang menyertainya. Pemukiman yang dibangun membuat lahan hijau makin tergerus, sebuah ancaman bagi flora dan fauna.
Di Jawa, jumlah seluruh jenis tumbuhan yang telah dibudiyakan dilaporkan lebih dari 6.500 jenis. Dari jumlah itu, sekitar 4.500 jenis merupakan pepohonan asli tanah Jawa. Sisanya, merupakan tanaman asing yang ditanam sejak abad ke-16.
Sejumlah peneliti luar telah berkecimpung untuk menguak kekayaan alam di pegunungan Jawa. Botanis asal Swedia, Carl Pehr Thunberg (1743-1828), menjadi orang yang pertama kali menjajakan kaki di pegunungan Jawa dan menelitinya.
Selain Thunberg, ada juga Francisco de Noro (Spanyol), Louis Auguste Deschamps (Prancis), Louis Theodore Lechenault de La Tour (Prancis) hingga Thomas Horsfield dari Amerika Serikat.
Pada masa Hindia Belanda, penelitian pegunungan Jawa mendapat angin segar dengan didirikannya de Batavische Wetenschappen Vereniging (Perhimpunan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia) oleh JCM. Rademacher. Lembaga ini mendorong dan memfasilitasi para peneliti pegunungan Jawa.
Namun, sumbangan paling lengkap dan besar soal vegetasi tumbuhan pegunungan Jawa jatuh pada Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) asal Jerman. Junghuhn merupakan perintis penanaman kina di pegunungan. Kemampuannya berhasil menelaah lanskap vegetasi, pengamatan geologi, fisiografi, dan paleontologi pegunungan.
Dalam suratnya yang dimuat dalam Introduction Java, dia melampiaskan rasa cintanya pada pegunungan Jawa.
“Jelas sekali saya ingat hutan-hutan di sana (Indonesia-Red) yang berhiaskan hijau abadi, beribu bunga yang harumnya tak pernah pudar. Saya rasakan gemuruh air terjun tercurah dari ketinggian di jantung negeri itu, seakan-akan saya sedang menghirup udara pagi yang sejuk. Bahkan sebelum matahari mewarnai ufuk timur, puncak gunung yang megah nun jauh di sana telah berpendar dalam warna keemasan dan nila, dari ketinggian bagaikan menatapku seperti kawan lama. Rasa rinduku menggumpal dan dengan penuh damba kunantikan datangnya hari saat saya dapat kembali berkata ‘Salam bagimu, wahai gunung-gunung!’”
Burung, makhluk penting bagi tumbuhan
Burung dan flora Jawa ternyata memiliki kerja sama mutualisme. Selain menjadi tempat hidup burung, tumbuhan juga dapat hidup berkat bantuan burung. Kerja sama ini terjalin karena hubungan tumbuhan dan serangga “kurang harmonis” di pegunungan. Sedikit sekali serangga yang dapat dijumpai di sana.
Suhu rendah dan kabut yang sering turun membuat serangga kurang aktif. Alhasil, burung menjadi tumpuan harapan penyerbukan flora pegunungan Jawa. Menurut laporan penelitian Docters van Leuween (1954) yang dikutip dalam buku Flora Pegunungan Jawa (Steenis, 2006), disebutkan banyak jenis benalu di pegunungan Jawa yang diserbuki oleh burung-burung marga dicaeum (suku dicaeidae atau burung cabai).
Mereka tidak hanya mengunjungi bunga macrosolens yang bertabung merah, tapi juga bunga scurrula lepidota yang berwarna cokelat. Sebagian besar burung pengunjung bunga yang biasa dijumpai di pegunungan Jawa adalah suku burung madu nectarinidae. Bunga-bunga yang menarik bagi burung jenis ini adalah bunga berbentuk terompet dan tabung warna merah, seperti bunga Aeschymantus.
Berbagai penelitian dan pengamatan kerja sama burung dan flora telah dilakukan. Peneliti asal Amerika, Elliott McClure, melihat bunga aeschynantus menarik perhatian tiga jenis burung pemburu laba-laba marga arachnothera (nectarinidae), yang mencucuk saluran madu dengan paruh panjangnya.
Peneliti lain, Jacobson dan ven der Pijl melihat burung senang merubung bunga-bunga merah, seperti jahe-jahean (amomum, nicolaia, dan hornstedtia) yang tumbuh di dasar hutan. Sementara burung madu aethopyga lebih aktif di berbagai jenis bunga, seperti rubus, albizia, vaccinium varingiaefolium, dan lonicera.
Peneliti asal Belanda, Hoogerwerf mengelompokkan jenis burung berdasarkan ketinggiaan habitatnya. Sebanyak 420 jenis burung hidup pada ketinggian setara permukaan air laut sampai 800 meter. Sementara pada ketinggian 800-2.000 meter ada 300 jenis, dan ada batas utama yang dihuni 150 jenis burung yang ketinggian maksimumnya 1.300-1.600 meter.
Pada ketinggian di atas 3.000 meter, hanya sebagian kecil burung yang mampu bertahan hidup dan atau hidup terbatas pada tempat tersebut. Salah satunya adalah anis gunung (Turdus poliocephalus) dan ayam-hutan merah (Gallus gallus). Jenis lain yang tergolong menghuni area pegunungan adalah burung-madu gunung (Aethopyga eximia), opior jawa (Heleia javanica), serta walet gunung (Aerodramus hirundinaceus). Mereka biasa memakan serangga dan nektar dari bunga rhododendron dan vaccinium.
Sayangnya, populasi dan jenis fauna kian hari kian berkurang. Banyak jenis burung yang jarang terlihat lagi, seperti caladi batu (Meiglyptes tristis), burung cabai-gesit (Dicaeum agile), dan pijantung telinga-kuning (Arachnothera chrysogenys). Selain berkembang pesat, Pulau Jawa telah menjadi saksi hidup kepunahan sejumlah flora dan dan faunanya.
Akankah kemajuan teknologi yang kita dapatkan sepadan dengan punahnya flora dan fauna kita?
Selamat Hari Gunung Sedunia!