Rabu, 19 November 2014, tiga pria asal Indonesia menaiki sebuah panggung besar. Ketiganya kompak mengenakan batik berwarna biru, berjejer menghadap sekitar 6.000 delegasi dari 170 negara yang hadir dalam World Parks Congress yang digelar oleh badan konservasi dunia, IUCN di Sydney, Australia.
Sukianto Lusli, Yusup Cahyadin, dan Agus Budi Utomo, tiga tokoh konservasi Indonesia itu hadir untuk menerima Kenton Miller Award. IUCN memberikan penghargaan prestisius ini karena ketiganya dinilai berhasil melakukan pendekatan inovatif dalam upaya konservasi dan perlindungan ekosistem di Indonesia, khususnya melalui program Hutan Harapan di Sumatera.
Ide restorasi ekosistem hutan produktif pada mulanya digagas oleh Sukianto Lusli yang merupakan mantan Direktur Eksekutif Burung Indonesia, bersama Yusup Cahyadi. Saat itu, ide tersebut masih dianggap tak populer. Pasalnya, penyumbang devisa terbesar kedua bagi Indonesia berasal dari produksi kayu di hutan produksi.
Satu hal yang mendorong Burung Indonesia melakukan upaya pelestarian ekosistem hutan alam produksi bersumber pada hasil sebuah studi di tahun 2000. Studi tersebut menyatakan bahwa hutan dataran rendah Sumatera akan segera habis jika tidak ada tindakan penyelamatan. Kekayaan aneka ragam hayati di dalamnya terancam. Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan terancam kehilangan atap langit dan tanah tempat anak-anak mereka bermain hujan.
Melalui upaya advokasi dan kerja keras yang terus dilakukan ketiganya, Kementerian Kehutanan (sekarang: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada 2004 mengeluarkan keputusan mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Izin itu memungkinkan pengelolaan hutan alam produksi yang tidak produktif untuk tujuan konservasi. Izin itulah yang membuka harapan baru bagi hutan dataran rendah terakhir di Sumatera tersebut.
Baca juga: #15thnBurungIndonesia: Menyusun Profil Lanskap Konservasi Kawasan Wallacea
Keluarnya IUPHHK-RE tercatat dalam sejarah kehutanan Indonesia. Sebab, untuk pertama kalinya ada kebijakan yang memungkinkan hutan produksi tidak ditebang hingga dapat berfungsi kembali sebagai penyeimbang ekosistem. Namun, izin tersebut harus menempuh tiga tahun perjalanan. Hingga pada akhirnya pada 2007 izin kelola hutan produksi seluas 53ribu hektare di Sumatera Selatan berhasil diraih dengan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) sebagai pengelola.
Ketika Sukianto melanjutkan tongkat estafet jabatannya kepada Agus, semangat untuk memperluas wilayah restorasi ekosistem terus dipelihara. Semangat itu berbuah manis. Pada 2010, PT REKI kembali mendapatkan izin untuk mengelola 50ribu hektar hutan produksi di Jambi. Dua wilayah konsesi inilah yang sekarang dikenal sebagai Hutan Harapan.
Kenton Miller Award tentu bukan sembarang penghargaan. Dibutuhkan nilai kepemimpinan yang sangat baik dan semangat untuk berinovasi di dunia konservasi agar dapat masuk ke dalam kriteria penerima penghargaan. Sukianto Lusli, Agus Budi Utomo, dan Yusup Cahyadi tentu mencerminkan semangat yang serupa disalurkan oleh Kenton Miller, sumber nama penghargaan tersebut berasal. Kenton Miller dikenal sebagai konservasionis yang gigih mempromosikan inovasi dan pembelajaran terkait perencanaan dan pengelolaan taman nasional dan kawasan lindung lainnya.
***
Penerbitan artikel ini merupakan bagian dari rangkaian publikasi menyambut ulang tahun Burung Indonesia yang ke-15 tahun. Setiap tanggal 15 selama 2017 kami akan mempublikasikan beragam artikel mengenai capaian-capaian terbaik yang telah Burung Indonesia raih selama 15 tahun bekerja di rumah bagi 1769 jenis burung ini.