Upaya pelestarian keragaman hayati patut melibatkan banyak pihak, termasuk anak-anak yang merupakan tonggak masa depan konservasi di Indonesia. Penanaman nilai kecintaan terhadap alam sejak dini menjembatani munculnya generasi yang berani mengatakan tidak pada perusakan alam.
Burung Indonesia menempuh beragam cara dalam mendukung aksi konservasi, salah satunya adalah melalui pendekatan pendidikan dengan menginisiasi penyusunan kurikulum muatan lokal mengenai konservasi lingkungan hidup di Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Manggarai Barat, dan tiga kabupaten di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Di Kepulauan Talaud dan Kepulauan Sangihe, Burung Indonesia menginisiasi materi ajar untuk pembelajaran konservasi keanekaragaman hayati di kepulauan tersebut pada 2006. Upaya ini mendorong Burung Indonesia untuk mereplikasi ide yang serupa di Pulau Sumba pada 2007 bersama dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumba Barat beserta instansi terkait. Untuk pertama kalinya, buku mengenai standar kompetensi, silabus, dan materi pembelajaran kurikulum muatan lokal tentang konservasi keanekaragaman hayati bagi murid sekolah dasar lahir di Tanah Humba.
Baca juga: #15thnBurungIndonesia: Menyusun Profil Lanskap Konservasi Kawasan Wallacea
Sebagai kelanjutannya, Burung Indonesia kembali menghasilkan buku muatan lokal yang sama bagi murid sekolah dasar di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah pada 2010 hingga kini. Peserta didik sekolah dasar di tiga kabupaten tersebut kini dapat mempelajari mengenai berbagai hal tentang pulau yang dicintainya, mulai dari kondisi geografisnya, sosial budaya masyarakat, hutan dan taman nasional, burung-burungnya, hingga cerita rakyat.
Setali tiga uang, kurikulum pendidikan serupa pun diadaptasi di lingkungan pendidikan di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) pada 2015. Mabar dikenal sebagai rumah bagi reptil purba yang terancam punah: komodo. Selain itu, setidaknya ada lima daerah penting bagi keragaman hayati di wilayah ini. Kawasan hutan Mbeliling, misalnya, merupakan habitat penting bagi beragam tumbuhan endemis maupun empat jenis burung endemis terancam punah, salah satunya adalah serindit flores (Loriculus flosculus).
Terdapat lebih dari 264 km² kawasan hutan yang sebagian besar rentan terhadap kerusakan akibat ulah manusia. Penebangan kayu secara ilegal pun merupakan ancaman yang harus dihadapi di Mabar. Oleh karena itu, upaya pelestarian keragaman hayati harus melibatkan banyak pihak dan sedini mungkin.
Melalui buku muatan mulok, peserta didik dapat mengetahui dan mempelajari tentang keragaman hayati, layanan ekosistem, dan habitat penting di lingkungan mereka. Dengan demikian, inisiasi penyusunan kurikulum muatan lokal ini merupakan strategi jangka panjang dalam hal pelestarian lingkungan hidup Mabar.
Baca juga: #15thnBurungIndonesia: Memelihara Harapan Kenton Miller Award
Lahirnya buku ini pun menjadi catatan sejarah baru bagi dunia pendidikan di Mabar. Sebab sebelumnya tak ada materi kurikulum muatan lokal yang relevan dengan kondisi lokal. Dukungan penuh Pemerintah Kabupaten Mabar pun tertuang dalam Peraturan Bupati No. 13 Tahun 2015 tentang pemberlakuan kurikulum muatan lokal konservasi lingkungan pada satuan pendidikan dasar.
Melalui buku kurikulum muatan lokal, diharapkan partisipasi peserta didik dalam upaya pelestarian alam dapat meningkat. Di sisi lain, dengan meningkatnya pengetahuan mengenai konservasi, para peserta didik diharapkan dapat turut aktif memengaruhi orang tua mereka agar dapat terlibat secara langsung dan peduli terhadap kelestarian alam.
***
Penerbitan artikel ini merupakan bagian dari rangkaian publikasi menyambut ulang tahun Burung Indonesia yang ke-15 tahun. Setiap tanggal 15 selama 2017 kami akan mempublikasikan beragam artikel mengenai capaian-capaian terbaik yang telah Burung Indonesia raih selama 15 tahun bekerja di rumah bagi 1769 jenis burung ini.