Skip to content Skip to footer

8 Juta Ton Plastik Masuki Lautan, Burung Menganggapnya Santapan

Sebuah studi yang dirilis di jurnal ilmiah Science Advances pada 2017 menyebutkan bahwa ada lebih dari 8 juta ton plastik memasuki lautan setiap tahunnya. Lebih dari itu, setidaknya sebanyak 51 triliun partikel mikroplastik mengotori samudra dan laut, yang tidak hanya melahirkan polusi secara visual, tetapi mengancam hidupan liar yang hidup di dalamnya.

Sampah laut telah membahayakan lebih dari 800 jenis satwa; 40 persen mamalia laut dan 44 persen burung-burung laut. Berdasarkan sejumlah estimasi, sampah seperti botol dan gelas plastik, dan kantong plastik yang umumnya ditemukan di lautan adalah wadah-wadah instan yang hanya digunakan satu kali. Jika hal ini terus berlangsung, jumlah plastik akan lebih banyak dibandingkan jumlah ikan pada 2050, dan sekitar 99 persen burung-burung air akan mengonsumsi plastik.

Perilaku burung-burung air mengonsumsi plastik menarik perhatian Jose Derraik, seorang peneliti asal Selandia Baru. Dalam artikel ilmiahnya yang dipublikasikan pada 2002, ia menemukan bukti bahwa sejumlah jenis burung laut memilih bentuk dan warna sampah plastik tertentu karena menganggap itu semua tak berbeda dengan santapannya di lautan. Burung-burung dapat salah mengira sampah plastik yang mengambang di permukaan adalah mangsanya.

Setidaknya lebih dari 1 juta burung-burung laut, 100,000 mamalia laut, penyu, dan jumlah ikan yang tak terhitung banyaknya, mati setiap tahun karena dampak sampah plastik. Derriak menyebutkan individu burung laut dewasa dapat mengasupkan partikel-partikel plastik kepada anakan mereka saat memberikan makanan.

Albartros laysan (Phoebastria immutabilis) merupakan salah satu burung laut yang mengalami dampak buruk limbah plastik. Sekitar 98% anakan albatros laysan—dan petrel-raksasa selatan (Macronectes giganteus)—tanpa sadar mengonsumsi berbagai partikel plastik seperti manik-manik, kancing, tali pancing, mainan plastik, kantong plastik, dan bermacam limbah lainnya yang berasal dari asupan makanan yang diberikan oleh induk mereka.

Hampir seluruh polusi yang terjadi di lautan berasal dari aktivitas yang berlangsung di daratan. Di banyak bagian di dunia, sampah dan limbah—khususnya dari kawasan perkotaan—mengalir hingga ke laut yang menyebabkan pencemaran dan eutrofikasi[1] pada kandungan air laut. Setidaknya lima ekosistem laut besar kini paling terancam karena proses eutrofikasi: Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan, Teluk Benggala, Teluk Meksiko, dan pesisir utara Brazil.

Indonesia, niscaya, adalah salah satu negara terdampak dari polusi sampah plastik di lautan. Hasil penelitian LIPI pada 2016 menyebutkan konsumsi plastik per kapita di Indonesia mencapai 17 kg per tahun, dengan tingkat pertumbuhan hingga 6-7% per tahun. Sampah plastik ini yang kemudian terurai menjadi mikroplastik dan masuk ke dalam rantai makanan banyak hidupan liar di laut, termasuk burung-burung laut.

Meski pada hakikatnya produk plastik berfungsi untuk mendukung kehidupan manusia yang lebih praktis karena bersifat mudah untuk digunakan, memiliki ketahanan, dan murah, namun penggunaannya yang berlebihan tanpa sadar dapat mengancam kelestarian lingkungan hidup. Sebab, plastik memiliki sifat yang sangat sulit untuk terurai. Kekurangmampuan manusia mendaurulang sampah plastik dibandingkan memproduksinya dan perilaku membuat sampah mendorong pencemaran sampah plastik ke jurang yang jauh lebih dalam, dan berakhir mencemari laut.

Berdasarkan laporan Ellen MacArthur Foundation dalam World Economic Forum pada 2016 lalu, konsumsi plastik akan menyerap 20% seluruh produksi minyak di dunia dalam waktu 35 tahun. Namun, runtuhkan angka-angka dan persetase tersebut dan mulai membayangkan jika kita masih membuang botol-botol, kantung, dan gelas plastik setelah digunakan hanya satu kali, pada 2050 seberapa luas lautan dapat menampung sampah plastik yang kita buang. Bukan tidak mungkin, pada 2050 jumlah sampah plastik akan lebih banyak dibandingkan ikan. Perilaku kita mengonsumsi produk plastik dapat menjadi salah satu hal yang menentukan ke arah mana kondisi lautan di masa depan. (MEI)


[1] Proses perkembangbiakan tumbuhan air dengan cepat karena memperoleh zat makanan yang berlimpah akibat pemupukan yang berlebihan.

id_ID