Skip to content Skip to footer

Bu’ Niu dan Kisah Penemuan Kembali Seriwang Sangihe

Lembah Sahengbalira, lokasi awal ditemukannya kembali seriwang sangihe. (Foto: Burung Indonesia/Ganjar C. Aprianto)

Anius Dadoali lebih dikenal sebagai Bu’ Niu (Bu’ dalam bahasa Sangihe berarti oom atau paman) oleh para pengamat burung. Ia juga kerap dipanggil “burung” oleh masyarakat Kampung Ulung Peliang dan sekitarnya. Terlahir 57 tahun silam di Kampung Ulung Peliang, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara, Bu’ Niu merupakan anak tengah dari sepuluh bersaudara—sebutan masyarakat Sangihe untuk anak tengah adalah Ara. Masa kecilnya banyak diluangkan dengan aktivitas di kebun dan hutan mengikuti jejak ayahnya. Bu’ Niu muda sering mengikuti ayahnya pergi ke hutan untuk memasang jerat babi, berburu, dan mengambil hasil hutan. Ayahnya merupakan pemburu tersohor pada masanya karena dikenal mengetahui semua jalur yang ada di hutan belakang rumah mereka, yaitu hutan Gunung Sahendaruman. Senjata berburu andalan ayahnya adalah sumpit atau alat berburu dari bambu yang ditiup.

Kebiasaan Bu’ Niu muda berburu dan mengambil hasil hutan ini kelak yang membuat dirinya mengetahui banyak hal tentang Sahendaruman dan seisinya. Ayahnya memiliki adik paling bungsu, yang sekarang dikenal sebagai Bu’ Eping. Rumah Bu’ Eping ini yang sekarang menjadi basecamp saat ada peneliti/pengamat satwa melakukan penelitian di kawasan hutan Ulung Peliang. Bu’ Niu muda seperti kebanyakan anak kampung yang lainnya, setelah selesai berkebun, hari-hari berikutnya pergi ke hutan untuk mencari hasil hutan seperti rotan, kayu, dan juga berburu satwa mengikuti sang ayah. Dengan cara inilah dia banyak bertanya tentang hal–hal yang ada di sekitarnya kepada ayahnya. Mulai dari segala jenis binatang, tumbuhan, nama tempat, hingga mitos–mitos yang dipercaya oleh masyarakat yang ada di kawasan hutan Sahendaruman.

Bu’ Niu menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari Kampung Kulur dan dikaruniai enam orang anak, tiga perempuan dan tiga laki-laki. Masa-masa pacaran dulu mungkin tidak lazim lagi dilakukan oleh anak muda zaman sekarang. Menurutnya, dulu saat pergi apel (berkunjung ke tempat pacar), dia biasanya berangkat pagi hari masih gelap menyusuri jalan setapak hutan Sahendaruman melintas ke Kampung Kulur. Kampung Kulur sendiri berbatasan dengan Kampung Ulung Peliang di bagian puncak Sahengbalira. Ketika pulang malam, terkadang Bu’ Niu membawa obor dari kampung, dan kadang hanya memanfaatkan jamur fosfor (jamur yang menyala) yang banyak terdapat di hutan. Dirinya akan mengumpulkan jamur-jamur tersebut hingga menjadi banyak dan cukup untuk memberinya penerangan. Sedangkan untuk alat jaga–jaga selama di perjalanan dia biasanya membawa sebilah tongkat. Saat berjalan malam dirinya dulu sering sekali menjumpai kuskus-beruang talaud atau dalam bahasa lokal disebut kuse dan satwa lainnya. Bu’ Niu muda juga pernah memelihara beberapa satwa seperti kuskus-beruang talaud, kuskus kerdil, dan juga burung kalea. Ketiganya kini sudah sulit dijumpai, bahkan kalea mungkin bisa dianggap menghilang dari hutan Sahendaruman. Kalea sendiri sebenarnya termasuk keluarga burung paruh bengkok, betet-kelapa punggung-biru dengan nama ilmiah Tanygnathus sumatranus.

Awal mula Bu’ Niu terlibat dalam kegiatan penelitian adalah ketika dirinya menemani dua orang peneliti muda dari luar negeri yang sedang mencari seekor burung yang dianggap telah punah selama 100 tahun lamanya, yaitu seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi). Peneliti tersebut adalah Jon Riley dan Jim Wardill, mahasiswa yang sedang melakukan penelitian guna menyelesaikan studi magisternya. Sebelum ke Sahendaruman, kedua peneliti tersebut telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari burung tersebut di Gunung Awu, Tabukan Utara, namun hasilnya nihil. Hingga akhirnya mereka mengubah pencarian ke arah selatan yaitu Gunung Sahendaruman, dengan sebuah hipotesis adanya migrasi satwa. Gunung Awu beberapa kali erupsi dan memungkinkan satwa yang ada di dalamnya untuk berpindah ke tempat lain.

Kemudian kedua peneliti itu datang ke kampung-kampung di sekitar Sahendaruman dan menanyakan kepada masyarakat terkait burung yang sedang mereka cari dengan cara menunjukkan sketsa dan ciri-ciri dari burung tersebut. Namun, tidak ada yang mengetahuinya dan memutuskan untuk langsung menyurvei ke dalam kawasan hutan Sahendaruman melalui Kampung Ulung Peliang. Jon Riley dan Jim Wardill membuka peluang kepada masyarakat yang bisa membantu membuat jalan dan membawakan barang. Namun, saat itu banyak masyarakat yang menolak karena keterbatasan bahasa atau takut ditipu oleh orang asing tersebut. Hingga akhirnya Bu’ Niu dan beberapa orang lain yang berani ikut menemani mereka untuk menjadi pembawa barang dengan upah Rp30.000/hari.

Kuskus-beruang talaud (Foto: Burung Indonesia/Ganjar C. Aprianto)

Pencarian seriwang sangihe berlangsung selama bertahun-tahun. Jalur pengamatan dibuat di lembah dan punggungan hutan Sahendaruman. Hasilnya tetap saja nihil hingga batas waktu pencarian hanya tersisa dua minggu sebelum projek habis dan akhirnya dinyatakan punah. Saat itu tim peneliti membangun basecamp di pos Kalumelahana. Pos ini terletak di atas rumah kebun milik Bu’ Eping. Sore hari setelah Bu’ Niu selesai membuat parang, dia menyusul ke pos Kalumelahana untuk memeriksa. Seperti biasa, Bu’ Niu merapikan area dan menunggu di basecamp, ternyata Jon Riley dan Jim Wardill beserta orang yang menemaninya masih belum pulang. Karena melihat belanga (panci) yang kosong, Bu’ Niu memutuskan berjalan turun ke lembah untuk mengambil air. Lembah tempat mengambil air ini dinamakan lembah Sahengbalira, karena punggungan di atasnya bernama punggungan Sahengbalira yang berarti punggung golok. Hal ini merujuk pada bentuk punggungan yang tipis dan memanjang, yang kanan dan kirinya merupakan jurang yang curam.

Saat itu sudah sore, sekitar pukul 17.00, Bu’ Niu mengisi wadah yang ia bawa dengan air. Sejenak menoleh ke sekitar dan saat itu dia melihat ada burung berwarna biru kecil terbang dan hinggap di atasnya. Ada sekitar lima ekor burung yang terbang lincah. Dalam hati Bu’ Niu sepertinya burung ini yang sedang dicari oleh para peneliti tersebut. Setelah penuh, segera dia bawa air menuju basecamp dan memasaknya. Setelah sekian lama, para peneliti belum juga pulang sedangkan Bu’ Niu telah selesai memasak air hangat. Akhirnya dia putuskan untuk pulang dulu ke rumah. Sesampainya di rumah dia menyiapkan beberapa setel baju dan berpamitan ke ayahnya untuk menginap bersama para peneliti itu.

Malam hari sesampainya di basecamp, dia langsung bertanya kepada Yoris, juru bahasa para peneliti tersebut. Bu’ Niu menanyakan burung seperti apa yang sedang mereka cari. Segera setelah itu Yoris menunjukkan buku panduan lapangan dan menunjuk ke ilustrasi burung seriwang sangihe. Setelah ditunjukkan gambar tersebut, Bu’ Niu benar–benar yakin bahwa burung yang dia lihat saat mengambil air adalah burung seriwang sangihe. Bu’ Niu dan Yoris pun akhirnya asyik membahas hal itu, tanpa disadari dari kejauhan Jon sedang memperhatikannya. Akhirnya Jon menanyakan apa yang Bu’ Niu temukan, lalu Yoris menjawab dengan bercanda dia menemukan pergam tarut. Namun, dalam hati Jon ada yang mengganjal. Akhirnya, Yoris memberitahu bahwa Bu’ Niu mengaku telah melihat burung yang selama ini mereka cari, ya burung seriwang sangihe!

Jon Riley tidak bisa tidur memikirkan hal tersebut. Pagi harinya, Yoris beserta kawannya diminta memeriksa apakah yang dilihat Bu’ Niu ini benar atau tidak. Yoris bersama Iwan dan Ucu pun menuju lokasi. Benar di sana terdapat seriwang sangihe. Hal itu segera diberitahukan kepada Jon yang segera menuju ke lokasi. Sesampainya di sana, dia melihat beberapa burung berterbangan dan tanpa disadari dia telah meneteskan air matanya dan bersandar di batang pohon. Jon Riley dan Jim Wardill menangis bahagia karena setelah sekian tahun akhirnya berhasil menemukan seriwang sangihe.

Kehidupan Baru Bu’ Niu

Setelah peristiwa tersebut, mereka turun ke kampung untuk melakukan sosialisasi. Jon dan Jim juga melakukan survei terhadap masyarakat dan menanyakan mengenai nama lokal burung tersebut. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu, bahkan ayah dari Bu’ Niu yang besar di hutan dan pemburu tersohor juga belum pernah melihat dan tahu nama lokal burung itu. Akhirnya untuk menghargai sekaligus menjadi penanda, diberikanlah nama Niu untuk nama lokal burung seriwang sangihe. Setelah itu survei intensif kembali dilakukan, lembah-lembah Sahendaruman yang sebelumnya sudah pernah di survei namun tidak ditemukan menjadi hampir semua dapat dijumpai seriwang sangihe. Karena seringnya peneliti singgah di rumah singgah, ayah Bu’ Niu kagum dan mulai saat itu memutuskan untuk pensiun dari berburu. Semua alat berburunya dia berikan kepada keluarga dan orang-orang yang memintanya. Hingga tidak tersisa lagi alat berburu di rumah singgah itu.

Ditemukannya seriwang sangihe membuat waktu penelitian Jon Riley dan Jim Wardil diperpanjang. Selanjutnya, guna mendapatkan data yang lebih lengkap, mereka memutuskan untuk menangkap burung seriwang sangihe menggunakan jaring (mist net) untuk mengambil data ukuran tubuh dan jaringan darah (DNA) dari seriwang sangihe. Setelah beberapa hari tidak membuahkan hasil, dan tidak ada satu burung pun yang terjebak. Bu’ Niu pun ikut mencoba, dan beberapa kali gagal karena burung ini dapat bermanuver dengan sangat cepat. Akhirnya Bu’ Niu ambil dua balok kayu dan menunggu seriwang sangihe hinggap di dekat jaring. Setelah cukup dekat, secepat dan sekeras mungkin Bu’ Niu memukulkan balok tersebut satu sama lain hingga memunculkan bunyi yang keras. Seketika itu, seriwang sangihe kaget terbang dan tersangkut di jaring. Setelah itu ditangkap dan dilakukan pengukuran dan pengambilan sampel DNA. Saat itu sebenarnya Jon meminta apakah boleh burung itu untuk dijadikan spesimen dan dibawa ke museum. Namun, Bu’ Niu menolak dan melarang Jon Riley untuk menjadikan burung itu spesimen. Menurutnya belum ada yang tahu jenis kelamin burung itu, siapa tahu itu adalah jantan terakhir atau betina terakhir sehingga jika dijadikan spesimen, maka akan punah. Mendengar hal itu, Jon Riley akhirnya melepaskan burung seriwang sangihe tersebut.

Menurutnya belum ada yang tahu jenis kelamin burung itu, siapa tahu itu adalah jantan terakhir atau betina terakhir sehingga jika dijadikan spesimen, maka akan punah. Mendengar hal itu, Jon Riley akhirnya melepaskan burung seriwang sangihe tersebut.

Setelah penelitian Jon Riley dan Jim Wardill selesai, Bu’ Niu selalu menjadi pemandu ketika ada peneliti atau individu yang sekadar ingin mengamati seriwang sangihe. Pengalamannya belajar bersama dengan orang asing membuat Bu’ Niu banyak mengetahui metode pengambilan data yang sederhana. Baik mencari data burung, mamalia, ataupun analisis vegetasi. Dirinya bersama teman seperjuangannya, yaitu Weasley Pangimangen yang berasal dari Kampung Lelipang beberapa kali melakukan survei sendiri dan mengambil data vokalisasi dari setiap burung yang ada di Sahendaruman berbekal alat perekam suara. Selain itu, mereka berdua juga sudah melakukan pengamatan di 48 lembah, baik di dalam maupun di luar kaldera Sahendaruman. Hanya 23 lembah yang berhasil dijumpai dan menjadi habitat burung seriwang sangihe. Pengalaman pahit dan manis selama survei sudah sering dialami Bu’ Niu saat menemani peneliti yang memiliki sifat dan kepribadian yang berbeda-beda.

Perlahan namun pasti dia mulai merasakan manfaat setelah sekian lama menjadi pemandu. Dia sadar bahwa penghasilan dari pemandu itu tidak seberapa karena bukan pekerjaan tetap, namun dengan menjadi pemandu setidaknya dia masih dapat menitipkan secercah harapannya agar seriwang sangihe dan Sahendaruman tempat bermainnya dulu tetap lestari. Beberapa kali anaknya diajak ketika dirinya diminta menjadi pemandu, harapannya agar anak-anaknya kelak dapat meneruskan harapan Bu’ Niu untuk terus menjaga Sahendaruman.

Seriwang sangihe (Foto: Burung Indonesia/Ganjar C. Aprianto)

Di luar menjadi pemandu, Bu’ Niu biasanya bekerja di kebun, beternak ayam, ikan dan mencari segala pekerjaan lain yang bisa dilakukan. Pekerjaan utamanya adalah petani kebun yang menanam pohon pala, cengkeh, talas, pisang, kelapa dan tumbuhan lain yang bisa menghasilkan. Kebunnya berbatasan dengan kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman, dan sebagian besar terletak di dalam kawasan. Kebun-kebun peninggalan keluarganya yang berada di dalam kawasan hutan tersebut sudah lama dia tinggalkan dan tidak dikelola. Dia pun sudah mengikhlaskan kebunnya itu untuk menjadi hutan kembali. Hal itu bukan tanpa alasan, karena jika kebun tersebut tetap dikelola, maka cepat atau lambat air akan menyusut dan kebunnya serta kebun lain yang berada di bawahnya tidak akan mendapatkan sumber air. Jadi dia memutuskan untuk membiarkan kebun yang berada di dalam kawasan hutan tetap menjadi hutan sebagai penopang banyak kebun dan kehidupan masyarakat di kampungnya. Dengan begitu, burung seriwang sangihe pun akan leluasa bermain karena hutannya menjadi lebih luas.

Hutan Lindung Gunung Sahendaruman ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 3.549 ha melalui SK MenHutBun No. 452/KPTS-II/1999 tanggal 17 Juni 1999. Gunung Sahendaruman merupakan pusat keanekaragaman hayati Pulau Sangihe karena memiliki beranekaragam flora dan fauna endemik yang kehidupannya tergantung pada hutan asli yang tersisa. Terdapat kurang lebih 30 desa yang tersebar di lima kecamatan, yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan Sahendaruman. Bu’ Niu selama ini menjadi anggota Elung Banua (pelestari hutan) dan KPA (kelompok pelestari alam) di Kampung Ulung Peliang. Dengan keterbatasannya, sesekali saat dia sedang bersama dengan teman-temannya yang memiliki banyak latar belakang, dia menyampaikan pesan-pesan konservasi terutama tentang penangkapan dan perburuan hewan. Menurutnya berburu itu boleh, tapi untuk jenis-jenis tertentu yang memang menjadi hama, bukan kepada jenis-jenis yang sudah sedikit jumlahnya di alam. Karena alam menciptakan sesuatu untuk manusia manfaatkan dengan bijak bukan secara eksploitatif. Pesan ini yang ia sampaikan kepada anak-anaknya, saudara, anak-anak muda, bahkan sesama orang tua kala berkumpul baik dalam kedaaan sadar maupun setengah mabuk. (Ganjar C. Aprianto)

id_ID