Skip to content Skip to footer

Burung dan “Sasi” (Bagian 2)

Menurut tetua Desa Kailolo, dilindunginya burung momoa dengan adat sasi berawal dari legenda yang telah mengakar turun menurun pada masyarakat.

Alkisah, seorang pira Kailolo menikah dengan wanita dari Desa Waai, kemudian mereka mempunyai empat orang anak yang selalu diganggu oleh anak-anak dari Desa Waai. Tidak betah diganggu terus-menerus, anak-anak itu memutuskan meninggalkan desa dan pergi ke pantai untuk menggambar perahu di pasir. Ternyata, gambar perahu itu bisa berubah menjadi perahu yang nyata, sehingga mereka bisa menggunakan untuk pergi dari pulau tersebut.

Sebelum pergi, ibu mereka memberikan hadiah sebuah bola emas. Setelah sampai di Desa Kailolo mereka langsung bermain bola tersebut, tapi tiba-tiba bola emas itu menghilang di pasir. Sebagai penghormatan atas pemberian ibunya, mereka membiarkan bola emas itu tetap berada di gundukan pasir itu untuk permainan anak cucunya kelak.

Berawal dari legenda itulah, hingga kini pantai di Desa Kailolo dianggap sebagai hadiah leluhur mereka sehingga perlu dilindungi dengan baik, burung momoa yang senang hidup dan bertelur di pantai pun berdatangan dari Pulau Pombo, Kasa, Babi, Seram, dan pulau lainnya untuk bertelur.

Oleh karena masyarakat desa merasa bertanggung jawab untuk melindungi pantai dan burung-burung ini, maka tempat bertelur burung ini menjadi hak milik seluruh desa. Untuk mengatur pemanenannya, dibuatlah “sasi”. Sasi dilakukan untuk mengatur pelelangan hak pengambilan telur momoa selama setahun, yang diatur dan diawasi pelaksanaannya oleh kepala desa.

Hingga kini pun kawasan tempat bertelur momoa merupakan tanah pertuanan Desa Kailolo, yang tidak dapat dimanfaatkan oleh sembarang orang. “Sasi” di Maluku berarti suatu hak  yang diberikan pada sebuah desa kecil dan dicantumkan dalam peraturan daerah dan Departemen Keuangan untuk Ambon dan pulau-pulau sekitarnya (ind stb.1824 no 19 a).

Dalam penelitian yang dilakukan Tuhumuri pada tahun 1996, terungkap bahwa tempat bertelur momoa telah diketahui sejak awal abad lalu dan pengambilannya bebas dilakukan oleh masyarakat desa. Namun, sejak tahun 1933-1938, pengambilan telur diatur oleh perangkat desa. Selanjutnya, mulai tahun 1960 sampai sekarang, pengaturan dilakukan dengan sistem lelang. Manfaat dari sistem lelang ini adalah lebih memudahkan pihak desa untuk mengelola lokasi bertelur momoa dan kepastian penanggung-jawabnya.

Sasi yang diterapkan di Desa Kailolo ini memang belum sepenuhnya bisa menjamin peningkatan atau stabilitas populasi burung momoa. Toh, kepala desa masih memberikan kesempatan sebebas-bebasnya bagi pemenang lelang untuk memanen telur momoa semaunya, sepanjang tahun. Namun setidaknya, sedikit semangat untuk menjaga dan melestarikan apa yang ada di alam cukup untuk menjadi pelipur lara dari fakta makin rusaknya Bumi Nusantara. Ditambah keyakinan bahwa tempat bertelur dan telur momoa itu sendiri akan selalu dijaga masyarakat karena jadi sandaran hidup mereka, bolehlah kita berharap kepada masyarakat ada Desa Kailolo, kalau mereka akan menjaga momoa untuk kita semua. (Yusup Cahyadin/Hanom Bashari)

***

Publikasi ini merupakan seri arsip artikel Majalah Burung yang sempat beredar pada kurun waktu 2006-2011. Informasi mengenai status burung telah diperbarui dengan status teraktual.

id_ID