Skip to content Skip to footer

Burung dan “Sasi” (Selesai)

Lain di Kailolo, lain pula di Tanimbar. Tanah-tanah di seluruh Kepulauan Tanimbar umumnya merupakan tanah pertuanan yang dikuasai oleh suatu kelompok adat.

Lain di Kailolo, lain pula di Tanimbar. Tanah-tanah di seluruh Kepulauan Tanimbar umumnya merupakan tanah pertuanan yang dikuasai oleh suatu kelompok adat.

Satu desa bisa dimiliki oleh beberapa kelompok adat, atau satu kelompok adat dapat menguasai wilayah adat di beberapa desa sekaligus. Masyarakat adat ini mengenal sistem sasi (banyak dikenal juga di daerah Maluku lainnya), yang istilah “kerennya” moratorium alias penghentian kegiatan sementara. Suatu daerah yang disepakati menerapkan sasi, sementara waktu dilarang untuk diambil hasil buminya. Ini dilakukan semata-mata juga untuk menjaga kelestarian sumber daya alam itu.

Sebagai contoh, ada sasi kelapa di suatu desa, maka selama waktu tertentu (biasanya tiga bulan) siapa pun dilarang mengambil segala sesuatu yang berasal dari pohon kelapa di desa tersebut. Setelah masa berlaku sasi usai, baru semua kelapa dapat dipanen hasilnya kembali.

Biasanya sasi untuk lahan perkebunan dapat disepakati bersama oleh seluruh kelompok penduduk, atau hanya perorangan pengguna lahan tersebut. Akan tetapi, ada juga sasi yang bersifat umum seperti hutan dan laut. Misalnya sasi laut selama setahun, maka selama setahun penuh sejak sasi diberlakukan siapa pun juga tidak diperbolehkan mengeruk hasil laut. Baru pada tahun berikutnya diadakan pemanenan massal oleh seluruh penduduk kampong. Setiap keluarga bebas mengambil hasil laut semampunya.

Sasi dapat juga diterapkan untuk hal lain. Misalkan saja, pantai di suatu desa sudah terlalu kotor karena banyak masyarakat membuang sampah di pantai, mulai dari sampah rumah tangga sampai sampah pribadi hasil orang membuang sampah dan segala jenis kotoran di sepanjang pantai. Tak lama jadilah pantai kembali bersih berpasir putih berseri.

Jika ada pendapat yang akan ikut mengambil hasil bumi suatu besa (baik laut maupun darat) – bahkan termasuk survei penelitian – biasanya tetua adat akan melakukan upacara adat, yang dikenal dengan acara sumbat sopi. Dengan menyediakan sedikit uang syarat (sumbat) dan sebotol minuman tradisional mereka (sopi), sang pendatang menghadap tua adat. Setelah diadakan sedikit ritual dengan bahasa daerah setempat, barulah si pendatang bisa melakukan kegiatannya sesuai kesepakatan.

Sebenarnya, inti acara sumbat sopi  tersebut adalah untuk minta izin penduduk setempat untuk memasuki dan bekerja di desanya. Sopi juga sekaligus berarti memohon keselamatan bagi orang yang akan masuk ke dalam hutan, kebun, atau laut. Sebab, kalau semua pendatang main masuk dan ambil hasil hutan begitu saja, bukan hanya takkan ada penduduk lokal yang membantu, tapi justru usiran atau hukuman yang akan menimpanya. (Yusup Cahyadin/Hanom Bashari)

***

Publikasi ini merupakan bagian dari seri arsip artikel Majalah Burung yang sempat beredar pada kurun waktu 2006-2011. Informasi mengenai status burung telah diperbarui dengan status teraktual.

id_ID