Skip to content Skip to footer

Hari Lingkungan Hidup Sedunia: Saatnya Kembali Ke Alam

Sepanjang awal tahun, laman pemberitaan diwarnai oleh sejumlah peristiwa penting tentang lingkungan yang selanjutnya mengingatkan kita kembali tentang pentingnya lingkungan hidup bagi kehidupan. Peristiwa-peristiwa terakhir mulai dari kebakaran hutan hingga pandemi global COVID-19 seharusnya mampu menyadarkan kita bahwa aktivitas-aktivitas yang selama ini dilakukan ternyata tidak banyak yang berpihak pada kelestarian lingkungan.

Sementara Badan Pangan Dunia (FAO) bersama UN Environment Programme merilis situasi terkini hutan di dunia yang masih terus mengalami deforestasi dan Badan Konservasi Dunia (IUCN) menetapkan lebih dari satu juta spesies tanaman dan satwa kini terancam punah, tampaknya pilihan kembali ke alam tak bisa dielakkan lagi. It’s time for nature, demikian seruan yang menandai peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati tiap 5 Juni. Seruan itu semestinya menggerakkan manusia dari berbagai belahan dunia dan dari berbagai kalangan untuk menilik kembali apa yang sudah dilakukan pada lingkungan. Tahun ini tentu saja menjadi momen bagi kita semua untuk melihat kembali ke alam.

Studi terkini mengenai keanekaragaman hayati di hutan pegunungan Jawa bagian barat yang dilaksanakan oleh Burung Indonesia misalnya, menemukan ancaman yang dihadapi oleh satwa-satwa yang menghuni kawasan tersebut. Tim survei menjumpai upaya penangkapan burung di hutan pegunungan yang juga  menjadi rumah bagi satwa-satwa endemis seperti elang jawa (Nisaetus bartelsi), celepuk jawa (Otus angelinae), luntur jawa (Apalharpactes reindwadtii), dan owa jawa (Hylobates moloch). Hal ini adalah bukti bahwa aktivitas perburuan satwa liar di alam masih terjadi dan jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin keseimbagan ekosistem terganggu.

Sementara itu di Sangihe, penggunaan pestisida untuk menghalau hama belalang sexava di perkebunan kelapa tak urung mengancam keberadaan nuri talaud (Eos histrio) yang  merupakan satwa endemis dan terancam secara global. Ironisnya Sangihe yang dijuluki pula Sahendaruman ditetapkan sebagai salah satu Important Bird Area (IBA) oleh BirdLife Internasional yang dalam perspektif lingkungan berarti kaya akan keragaman hayati, utamanya burung, namun memiliki ancaman yang amat tinggi. Laporan terbaru UN Environment Programme menyebutkan penggunaan pestisida/kimia mengancam satwa-sata yang berperan sebagai polinator/penyerbuk yang amat penting untuk membantu produksi bahan pangan dan obat-obatan.

Melihat dua hal tersebut, rasanya tak adil bila kita terus membiarkannya terjadi. Selaras dengan misi melestarikan burung dan habitatnya, Burung Indonesia mengampanyekan aktivitas-aktivitas baru yang ramah lingkungan. Di Sangihe misalnya, masyarakat setempat didorong untuk mengendalikan hama sexava secara alami sehingga nuri talaud dapat kembali di hutan Sahendaruman. Sementara di Jawa, kegiatan penyadartahuan akan pentingnya burung sebagai indikator kesehatan lingkungan dan penyerbuk/pollinator tanaman pangan terus dilakukan. Kegiatan pengamatan burung-burung secara rutin dilakukan misalnya pada saat musim migrasi, sensus burung air, hingga mengamati burung-burung di sekitar tempat tinggal kita.

Selain kegiatan-kegiatan konservasi di lapangan yang bersifat teknis, kembali ke alam untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang lebih parah juga dapat dilakukan oleh siapa saja. Mari kita mulai dengan membiarkan keanekaragaman hayati agar tetap hidup di alam, mengurangi emisi karbon, membuang sampah pada tempatnya, serta menjaga lingkungan sekitar agar tetap sehat dan berkualitas. (ARI)

id_ID