Ibis karau (Pseudibis davisoni) merupakan burung air berukuran 75 cm yang hidup di lahan basah. Burung berkepala botak dengan sayap dan ekor hitam mengkilap ini menyenangi daerah perairan dan hutan rawa. Di wilayah ini, ia akan mencari makan dan bersarang.
Di Indonesia, persebarannya hanya di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dengan populasi sekitar 30-100 ekor yang terus menurun. Secara global, dulunya burung ini terdapat di Cina bagian barat daya dan Asia Tenggara. Kini, hanya terbatas di Laos, Kamboja, dan Indonesia (Kalimantan Timur).
Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia, menjelaskan bahwa ibis karau memiliki kebiasaan seperti ibis rokoroko (Plegadis falcinellus) yaitu hidup dalam kelompok kecil serta suka menusuk lumpur dengan paruhnya. Hanya saja, ibis karau lebih suka tinggal di hutan rawa dan di aliran air berhutan.
Jihad menambahkan, berkurangnya luasan lahan basah akibat alih fungsi lahan menjadi daerah pertanian serta perburuan membuat populasi ibis karau berkurang. Populasi globalnya diperkirakan sekitar 650 individu dewasa. Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan statusnya Kritis (Critically Endangered/CR) yang berarti satu langkah menuju kepunahan. Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menetapkan jenis ini termasuk satwa yang dilindungi.
Profesor Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran (Unpad), memaparkan bahwa berdasarkan catatan Smythies dalam The Birds of Borneo (1981), ibis karau pernah tercatat di Sungai Barito tahun 1836 dan Long Iram, hulu sungai Mahakam tahun 1912. Bukan kebetulan, bila Guy Mountfort & Norman Arlott dalam buku Rare Birds of the World (1988) menyatakan jenis ini sebagai salah satu jenis burung langka di dunia.
Menurut Johan, kehadiran burung air di lahan basah sangatlah penting. Ragam jenis burung air yang datang di lahan basah pesisir dan lautan atau lahan basah buatan merupakan indikator alami kualitas lingkungan. “Kehadiran burung air ini ada kaitannya dengan aneka pakan di habitat tersebut,” tutur Johan.
Keberadaan lahan basah harus mendapat perhatian serius. Pengelolaannya harus diintegrasikan secara holistik dalam berbagai program pembangunan dengan pengawasan yang ketat. Hilangnya lahan basah dapat menyebabkan hilangnya ragam fungsi ekologi atau layanan ekosistem. “Pada akhirnya, tidak hanya menyebabkan hilangnya habitat burung, tetapi kerugian pada manusia sendiri,” paparnya.
Ibis karau masuk dalam Suku Threskiornithidae. Suku ini mempunyai kekerabatan dengan bangau, hanya saja badannya lebih kecil dan paruhnya lebih sesuai untuk menusuk lumpur ketimbang mangsa.