Skip to content Skip to footer

Kearifan Lokal Menjaga Laut Pulau Lembata

Alat tangkap ikan seperti pukat harimau menjadi ancaman bagi keragaman hayati laut karena kemampuannya menangkap ikan tanpa membedakan ukuran dalam jumlah besar. Alat yang biasa digunakan pelaku industri perikanan bermodal besar ini terbukti menggangu perkembangbiakan ikan karena ikan-ikan kecil yang belum layak tangkap ikut terjaring pukat. Akibatnya, proses regenerasi menjadi terganggu dan menyebabkan jumlah ikan di area tangkap berkurang.

Seiring perkembangan teknologi dan pengetahuan di sektor perikanan, ancaman pun hadir dari praktik penggunaan bom ikan. Praktik ini menjadi ancaman serius bagi kelestarian hayati laut dan penghidupan masyarakat nelayan. Kemampuan eksplosifnya mampu menghancurkan terumbu karang yang menjadi habitat dan sumber pakan penting bagi berbagai jenis ikan. Berkurangnya gugusan terumbu karang yang sehat membuat ikan-ikan menjauh dari area tangkap nelayan tradisional karena minimnya ketersediaan pakan.

Kemampuan alat tangkap merusak yang mampu menangkap ikan dalam jumlah besar sempat melenakan masyarakat nelayan Desa Lamatokan, Desa Dikesare, dan Desa Tapolangun. Keterlenaan tersebut rupanya kemudian baru disadari berdampak buruk terhadap ekosistem laut mereka.

Situasi tersebut memaksa para para nelayan tradisional mencari area tangkap baru yang semakin jauh dan memakan biaya operasional tak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Hal ini sempat meresahkan para nelayan di Perairan Lembata, Teluk Hadakewa, Nusa Tenggara Timur karena praktik perikanan merusak menjadi ancaman serius bagi mereka.

Untuk mencegah ancaman yang lebih serius terjadi, Burung Indonesia bekerja bersama Lembaga Pengembangan Masyarakat Desa (BARAKAT) dengan dukungan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) berupaya mengakhiri praktik perikanan merusak dan mendorong masyarakat adat Lembata di Desa Lamatokan, Desa Dikesar, dan Desa Tapolangun agar dapat mengelola ekosistem laut yang lestari berdasarkan kearifan lokal setempat.

Proyek ini berhasil memfasilitasi masyarakat membentuk kawasan konservasi perairan (KKP) di Teluk Hadakewa seluas 549.5 hektare yang diresmikan secara adat. Masyarakat pun berinisiatif mengembalikan dan menguatkan peran Barekat Lewa sebagai lembaga pengawasan laut untuk menjaga perairan setempat dari praktik perikanan merusak.

Sejatinya, jauh sebelum alat-alat merusak marak dipergunakan, masyarakat di ketiga desa telah memiliki pengetahuan lokal mengenai alat tangkap ikan ramah lingkungan seperti rumah apung, bubu, dan nere. Ketiga alat ini sangat selektif terhadap target ikan tangkapan, tidak mengancam keberadaan habitat ikan seperti karang dan mangrove, dan tak membutuhkan modal besar untuk memproduksinya.

Rumah apung
Rumah apung terbuat dari material yang ramah terhadap keragaman hayati laut. Bahan produksinya menggunakan bambu, kayu, drum, gabus (stirofoam), rotan, dan tali. Alat ini merupakan lokasi transit untuk ikan-ikan kecil yang belum layak tangkap dan konsumsi. Para nelayan akan memelihara ikan-ikan kecil ini di keramba jaring yang berada di bawah rumah apung.

Mekanisme transit ini mengajarkan masyarakat adat Lembata mengenai pentingnya menangkap dan mengonsumsi ikan layak tangkap agar tak mengganggu proses regenerasi ikan. Masyarakat juga memanfaatkan rumah apung sebagai fasilitas rekreasi. Mereka memanfaatkannya untuk melakukan aktivitas memancing, sekaligus sebagai media penyadartahuan tentang pentingnya pelestarian kawasan perairan bagi keberlangsung hidup berbagai jenis ikan dan habitatnya.

Bubu
Jika rumah apung berfungsi sebagai lokasi transit ikan-ikan kecil, kini masyarakat adat Lembata memanfaatkan bubu untuk mendapatkan ikan berukuran besar. Alat ini hanya menangkap ikan besar dalam jumlah terbatas sehingga tidak tergolong alat tangkap yang eksploitatif. Sedangkan, ikan-ikan kecil yang terperangkap ke dalam bubu dipastikan dapat keluar karena dindingnya memiliki lubang-lubang kecil serupa jaring.

Untuk membuat bubu, masyarakat cukup memanfaatkan limpahan bambu yang tersedia di desa. Bubu juga dapat menjadi komoditas dagang di tingkat lokal sekaligus sebagai media penyadartahuan masyarakat mengenai pentingnya pemanfaatan sumber daya laut yang lestari. Saat ini ada sekitar 511 keluarga nelayan di ketiga desa yang telah memanfaatkan bubu sebagai alat tangkap ikan.

Nere
Di antara alat tangkap ikan ramah lingkungan yang saat ini telah digunakan oleh masyarakat adat Lembata, nere adalah alat yang paling banyak dimanfaatkan sejak lama. Sama seperti bubu, ada sekitar 511 keluarga nelayan di ketiga desa yang kini telah menggunakan nere untuk menangkap ikan.

Alat yang dibentuk menggunakan daun lontar ini takkan menerangkap ikan-ikan kecil karena memiliki lubang-lubang kecil sebagai jalan keluar mereka. Sementara itu, ikan-ikan besar akan tetap berada di dalam nere. Tentu saja, nere tidak membawa ancaman bagi turumbu karang, padang lamun, ataupun berbagai jenis ikan.

***

Program Kemitraan Wallacea merupakan program kemitraan yang dilaksanakan oleh Burung Indonesia atas dukungan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) untuk meningkatkan kapasitas dan peran organisasi masyarakat sipil dalam pelestarian keragaman hayati di kawasan biogeografi Wallacea.

id_ID