Skip to content Skip to footer

Mencari Garuda Merapi

oleh Rahmadiyono Widodo*

Kabut tebal berpadu dengan hawa yang dingin masih menyelimuti pagi, menemani dua pasang kaki melangkah menuju puncak perbukitan Gunung Merapi. Pelan tapi pasti, puncak bukit akhirnya tertapaki meski harus berhenti sesekali untuk mengumpulkan energi. Pagi itu di awal September 2017, saya bersama seorang teman dari Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) melakukan pemantauan burung elang jawa (Nisaetus bartelsi). Pemantauan elang jawa rutin dilakukan oleh PEH TNGM bersama Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ) setiap tahunnya. Biasanya dilakukan di bulan Agustus atau September sebelum memasuki musim migrasi burung pemangsa.

Pemantauan elang jawa penting dilakukan karena jenis yang juga disebut Javan Hawk-Eagle ini merupakan satu dari 25 satwa prioritas konservasi di Indonesia. Elang jawa juga termasuk salah satu jenis yang masuk dalam daftar burung paling langka di dunia dengan status Genting atau Endangered (Hirschfeld, Andy, and Robert, 2013). Status konservasinya yang genting tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti faktor perkembangbiakannya (elang jawa adalah burung monogami yang hanya bertelur satu butir tiap 2-3 tahun sekali), rusaknya habitat, hingga perburuan liar untuk diperdagangkan.

Dalam satu tahunnya, perdagangan elang jawa dapat mencapai 30-40 ekor (Indah, 2018). Bahkan pada tahun 2015, sebanyak 121 elang jawa diperdagangkan secara daring hanya dari lima grup jual beli (Iqbal, 2016). Tingginya perdagangannya disebabkan salah satunya karena eksotisme elang jawa sebagai burung Garuda. Sejak ditetapkan oleh pemerintah sebagai satwa identitas nasional karena kemiripannya dengan burung Garuda (Pancasila), elang jawa semakin diminati untuk diperdagangkan baik di dalam maupun ke luar negeri (van Balen, Nijman, and Prins, 2000).

Pemantauan elang jawa di kawasan TNGM dilakukan dengan menempatkan 2-3 personel pada titik pengamatan yang telah disebar mengitari Gunung Merapi. Pada pemantauan tahun 2017, di hari pertama saya bertugas di lereng timur, tepatnya di Desa Tegalmulyo Kabupaten Klaten. Titik pengamatan yang saya tuju berada di punggungan bukit yang memiliki lereng cukup curam. Meskipun demikian, warga Desa Tegalmulyo tetap memanfaatkan lereng ini untuk menanam rumput sebagai sumber pakan ternak. Jalan setapak yang rutin dilalui warga untuk memanen rumput saya manfaatkan pula untuk menuju puncak bukit.

Sesampainya di puncak bukit, yang pertama kali saya lakukan adalah melempar pandangan ke kanan dan kiri. Menikmati panorama yang begitu indah dan menenangkan. Lalu, saya mencari area tanah yang datar untuk menaruh tas dan mengeluarkan peralatan monitoring seperti teropong dan kamera. Mencari tempat datar di punggungan bukit terbilang cukup sulit, tapi beruntung waktu itu kami mendapatkan tempat yang nyaman di bawah naungan pohon akasia (Acasia decurens) – pohon invasif yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan di beberapa taman nasional di Indonesia. Sambil menunggu kehadiran elang jawa, Mas Wahid (rekan saya dari PEH TNGM) memasak makanan untuk sarapan kami. Meskipun di lereng gunung, menu masakan beliau bukanlah mie instan seperti kebanyakan pendaki. Sayuran segar hingga ikan beliau masak layaknya koki yang handal. Waktu itu saya hanya bergumam, “beruntung sekali diriku di pemantauan tahun ini, haha”. Setelah matang, kami pun menyantapnya bersama. Sejak suapan pertama, tidak ada keraguan bagi saya untuk mengatakan jika masakan beliau benar-benar enak, gratis pula.

Sarapan telah habis disantap, tapi elang jawa tak kunjung datang. Belum munculnya burung tersebut pada pagi itu sebenarnya hal yang lumrah karena waktu belum menuju siang hari. Elang jawa – dan elang pada umumnya – biasanya terlihat terbang ketika hari mulai memasuki siang. Perilaku ini berkaitan dengan keberadaan udara panas yang membantunya untuk membubung tinggi. Waktu tersebut kami manfaatkan untuk mengamati burung di sekitar titik pengamatan. Kami menjumpai burung-burung yang indah bulunya dan merdu kicauannya, seperti kepudang kuduk-hitam (Oriolus chinensis) dan serindit jawa (Loriculus pusillus). Belum juga puas mengamati burung-burung tersebut, burung hitam terbang di atas kami. Langsung saja terdeteksi jika itu adalah elang karena bentang sayapnya yang lebar. Namun, untuk memastikan itu jenis elang apa, kami perlu melihat lebih detail karena pada umumnya elang yang terbang di atas pengamat burung hanya terlihat bayangan hitamnya (silhouette). Setelah teramati lebih lama, hasil identifikasi menunjukkan elang yang kami lihat adalah elang hitam (Ictinaetus malayensis). Meskipun bukan elang jawa, keberadaan elang hitam ini juga kami catat sebagai data yang penting karena bagaimana pun juga keberadaan spesies elang lain juga memengaruhi teritori dari elang jawa di Gunung Merapi. Tidak kami sangka, terbang elang hitam semakin rendah dan mendekati kami. Pagi itu menjadi momen pertemuan paling dekat dengan burung elang sepanjang perjalanan saya sebagai seorang pengamat burung. Melihat elang hitam yang seakan tidak menghiraukan kami, saya memandanginya terus menerus. Melihat burung yang terbang bebas, apalagi burung elang yang jarang saya lihat, betul-betul menjadi kebahagiaan sendiri di hati. Burung tersebut kemudian terbang menuruni celah di antara dua lereng bukit, lalu hilang tertutupi pepohonan.

Elang hitam (Ictinaetus malayensis)

Sinar matahari terlihat semakin terik, tapi angin pegunungan yang sejuk seakan langsung menawarkannya. Tidak seperti pagi hari yang masih berenergi untuk menyusuri punggungan bukit, kami memilih untuk menetap di bawah naungan pohon akasia. Mengamati langit sambil berteduh. Burung hitam kembali datang, kali ini posisinya lebih jauh. Segera kami mengeluarkan kamera untuk membantu dokumentasi sebelum burung itu terbang turun di antara pepohonan. Setelah beberapa bingkai diperoleh, senyum sumringah terukir pada wajah kami. Dengan pola sayapnya yang khas dan ditambah satu bingkai menunjukkan jambulnya, kami sepakat jika yang teramati adalah elang jawa. Target sukses didapatkan di hari pertama. Setelah perjumpaan dengan elang jawa, kami tetap menunggu, berharap bertemu kembali. Namun, sampai pukul 13.00 WIB satwa prioritas itu tidak muncul kembali. Akhirnya kami memutuskan untuk turun dari bukit. Perjalanan turun terasa lebih cepat. Sampai di dasar bukit dekat area pemukiman, kami bertemu dengan warga yang juga baru pulang dari memanen rumput. Warga Desa Tegalmulyo begitu ramah, murah senyum, dan tetap menggunakan bahasa Jawa halus padahal saya lebih muda dari mereka. Kami mengobrol singkat sambil berjalan bersama. Momen seperti ini yang tidak bisa dijumpai di area perkotaan tempat saya tinggal.

Elang jawa (Nisaetus bartelsi)

 

Penduduk desa membawa rumput untuk makanan ternak sambil menuruni lereng

 

Hari kedua pemantauna saya jalani di lokasi yang sama, bersama personel PEH yang sama pula. Sesampainya di bawah pohon akasia, kami isirahat sejenak lalu Mas Wahid memasak sarapan. Seperti hari sebelumnya, masakannya tetap enak sekali. Tidak berselang lama, elang hitam kembali menyapa kami, kali ini bahkan lebih dekat hingga saat saya memotretnya, gambar sayapnya terpotong. Setelah perjumpaan dengan elang hitam, giliran elang jawa yang menyapa kami. Pada hari kedua, elang jawa terbang lebih lama di atas kami kemudian melakukan gliding (meluncur) dan masuk ke dalam hutan. Beruntung, saya dapat memotretnya kembali. Lewat tengah hari, kami turun untuk istirahat untuk menyiapkan pemantauan hari ketiga.

Hari ketiga berbeda dari sebelumnya. Pasalnya saya pindah tugas untuk pemantauan di lereng selatan Gunung Merapi, tepatnya di salah satu sisi bukit Turgo yang terletak di Desa Hargobinangun, Kabupaten Sleman. Posisi titik pengamatan tidak setinggi di desa Tegalmulyo, bahkan motor bisa saya parkirkan di dekatnya. Pada pemantauan hari ketiga, hawa rimbunnya hutan Merapi lebih teras. Saya tidak menjumpai burung kepudang kuduk-hitam atau serindit jawa lagi, tapi kehadiran satu flock (kelompok) burung kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dengan kicau yang merdu tetap harus disyukuri. Menuju tengah hari, elang jawa muncul dari rimbunnya hutan bukit Plawangan. Saya memastikan jika individu yang ini berbeda dengan yang teramati di desa Tegalmulyo. Bulu sayap yang rusak menjadi ciri utamanya. Di lereng selatan cuaca tidak secerah lereng timur, bahkan cenderung mendung. Cuaca yang semakin mendung menuju tengah hari membuat kami memutuskan untuk mengakhiri kegiatan pemantauan.

Pemandangan lereng timur Gunung Merapi

 

Penampakan Gunung Merapi dari lereng selatan.

 

Hari keempat pemantauan, saya kembali ke titik pengamatan lereng timur. Saya sangat bersemangat di hari terakhir ini. Pada punggungan bukit, kami menanti kehadiran elang jawa. Namun sayang, hingga lewat tengah hari burung tersebut tidak terlihat. Kabut kemudian menebal kembali dan udara terasa semakin dingin. Menyadari tidak mungkin melakukan pengamatan dengan kondisi seperti itu, kami memilih untuk turun. Di perjalanan turun ini, kami menjumpai elang-ular bido (Spilornis cheela). Burung elang yang paling sering saya jumpai di lereng selatan Merapi ini justru baru terlihat di lereng timur pada hari terakhir pemantauan. Saya sempatkan memotretnya dengan kondisi seadanya. Maklum, dengan kondisi minim cahaya, kualitas foto yang dihasilkan hasil kamera saya memang tidak bisa diandalkan. Meskipun elang-ular bido terlihat santai bertengger, saya tidak bisa berlama-lama bersamanya. Pasalnya saya harus segera kembali ke Yogyakarta agar tidak ketinggalan kereta di sore hari. Perjalanan ke mana? Ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dari Gunung Merapi, pindah ke Gunung Semeru.


 

*Penulis adalah salah satu pemenang utama dari lomba menulis blog Anak Muda Cinta Taman Nasional (AMCTN) yang didukung oleh USAID BIJAK, Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI, Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia), Tambora Muda, Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Yayasan OnTrack Media Indonesia (OTMI) dan Hutan Itu Indonesia (HII).

id_ID