Skip to content Skip to footer

Menjaga Iklim, Merawat Bumi

Hutan pegunungan Bandung bagian utara. (Foto: Burung Indonesia)

Menjelang peringatan Hari Bumi Sedunia, kita semua dihadapkan pada pandemi global COVID-19 dan perubahan iklim yang nyata. Beberapa laporan mengenai kebakaran hutan di Sumatera dan Australia yang diikuti oleh berita naiknya permukaan laut di bagian utara Jawa, sebagaimana dilansir dari laman BBC Indonesia yang menyebabkan penduduk kehilangan tempat tinggal juga mewarnai sejumlah pemberitaan. Fenomena tersebut tidak sepenuhnya bersifat alamiah, melainkan dipengaruhi oleh perubahan iklim. Perubahan iklim disebabkan oleh tingginya konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer bumi yang menimbulkan efek rumah kaca dimana panas matahari terperangkap di dalamnya dan menghasilkan kenaikan suhu bumi.

Penyelenggaraan industri seperti industri logam dan penerbangan di seluruh dunia menjadi salah satu penyumbang munculnya efek rumah kaca. Industri memerlukan energi dari pembakaran minyak yang berasal dari fosil. Bahan bakar fosil ini juga digunakan manusia dalam aktivitas hariannya seperti transportasi dan kebutuhan rumah tangga. Berkembangnya industri diikuti dengan kebutuhan akan lahan sehingga pembukaan lahan pun tak bisa dihindarkan, utamanya di kawasan-kawasan pusat industri. Pembukaan lahan ini juga terjadi di hutan-hutan seluruh dunia.

Bahan baku industri sebagian di antaranya berasal dari perkebunan, misalnya saja industri pengolahan minyak sawit dan olahan karet. Maraknya permintaan akan kedua komoditas ini selanjutnya mendorong perluasan area perkebunan dengan mengalihkan fungsi area hutan. Dampak dari alih fungsi hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran ini selanjutnya berdampak pada hilangnya habitat satwa, termasuk burung. Tak hanya kehilangan tempat tinggal, satwa-satwa di hutan kehilangan sumber pakannya akibat kerusakan ekologi. Hilangnya kanopi ini berkontribusi pula pada konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dan timbulnya krisis air bersih. Selain menjadi tempat tinggal satwa, pohon-pohon di hutan befungsi sebagai penyerap karbon di Bumi.

Aktifitas manusia lain yang berkontribusi besar terhadap konsentrasi karbon di atmosfer yaitu pertanian dan peternakan, misalnya saja peternakan sapi dan pertanian sayuran di lereng-lereng pegunungan. Sektor yang berperan penting dalam suplai makanan sehari-hari kita ini memiliki kontribusi yang besar terhadap emisi karbon. Kegiatan harian manusia seperti transportasi, bepergian ke luar kota, dan konsumsi listrik pun memiliki sumbangsih besar terhadap emisi karbon. Berdasarkan laporan BBC, Indonesia masuk dalam daftar negara-negara penghasil emisi karbon terbanyak dengan 558 megaton CO2 per tahun.

Hal penting lain yang memiliki dampak besar terhadap emisi karbon yaitu kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan. Betapa pentingnya kebijakan terhadap perubahan iklim karena mempengaruhi sistem tata kelola suatu negara. Apabila kebijakan suatu negara berpihak pada lingkungan , emisi karbon pun berkurang. Dalam beberapa tahun terakhir, suhu bumi terus meningkat sehingga IPCC membuat rekomendasi untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2°C. Jika kita gagal, bencana besar seperti naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub, kekeringan hebat, badai ekstrim, dan gelombang panas yang merusak kehidupan di bumi tak bisa lagi dihindari.

Meski saat ini sedang dihadapkan pada krisis iklim, pada kenyataannya kita masih bisa mengupayakan perbaikan. Pandemi global COVID-19 secara tidak sengaja memberi kita contoh bahwa pelambatan aktifitas manusia, utamanya dalam sektor ekonomi, berdampak pada kondisi Bumi. Semenjak kemunculan virus ini di Wuhan, Cina yang kemudian menyebar hingga ke seluruh dunia menyebabkan para pemimpin negara melakukan pembatasan wilayah. Aktifitas manusia berubah drastis dari pertemuan tatap muka menjadi pertemuan daring, pembatalan acara-acara luar ruangan, hingga konser daring. Respon ini memberi kita alternatif baru terkit aktifitas yang rendah emisi karbon.

Laporan dari badan luar angkasa Amerika dan Eropa menyebutkan berkurangnya konsentrasi nitrogen di atmosfer sejak kebijakan pembatasan wilayah ini dilakukan. Sementara banyak penerbangan dihentikan untuk sementara waktu dan kegiatan industri mengalami pengurangan, pantauan satelit melaporkan kondisi udara yang lebih bersih.

Dari pandemi kita belajar untuk meminimalisir jejak karbon dengan mengurangi aktifitas yang memerlukan pembakaran energi fosil dan mengoptimalkan teknologi daring. Hal lain yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah diet makanan sehari-hari kita. Memilih bahan pangan dengan sedikit jejak karbon tentu merupakan pilihan yang mendukung pengurangan emisi karbon.

Upaya lain yang bisa kita lakukan adalah dengan mempraktikkan prinsip berkelanjutan dalam hal pemanfaatan lahan, baik untuk pemukiman, pertanian, peternakan, maupun perkebunan. Reforestrasi dapat menjadi agenda besar untuk mengembalikan kondisi hutan agar karbon dapat diserap. Agar langkah-langkah tersebut dapat terlaksana secara berkesinambungan dan berdampak lebih besar, kita dapat mendorong pemerintah untuk membuat lebih banyak lagi kebijakan yang berpihak pada lingkungan.

Akhirnya, selamat Hari Bumi!

id_ID