Berbekal peta berlogo Burung Indonesia, UNESCO dan Pemerintah Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, keluaran 2009, kami memulai perjalanan saat mentari masih terlelap.
Dalam kegelapan, jalan berbatu menanjak tanpa naungan sepanjang kurang lebih 4 km dari SD Denge—desa di bagian selatan Manggarai—kami tapaki.
Sejam kemudian, kami tiba di perhentian pertama di Wae Lomba. Indera kami diaktifkan dengan suara gemerisik sungai mengalir dan gambaran air jernih yang dikelilingi hutan alam yang indah. Sehabis mengisi botol minum dari sungai tersebut, kami meneruskan perjalanan, mendaki jalan setapak curam masuk ke dalam hutan.
Perjalanan kami terhenti ketika sampai di Pocoroko, lokasi perhentian kedua yang tergambar di peta, untuk sarapan. Sang Surya sudah naik, dan dari Pocoroko jelas terlihat dinding hutan alami di sekitar Desa Denge yang kami tinggalkan. Langkah kami dari Pocoroko ke Nampe Bakok, perhentian ketiga, ditemani oleh riuhnya suara anis dan kancilan flores. Di Nampe Bakok, kami dapat melihat tiang paling atas khas rumah di Wae Rebo dan kebun serta sekang (rumah kebun) dari kejauhan. Akhirnya setelah berjalan lebih dari tiga jam, kami tiba di satu rumah panggung berisi kentungan bambu dan spanduk dengan ucapan selamat datang. Nah, begitu menaiki tangga, terhampar delapan rumah tinggi berbentuk kerucut dengan atap jerami dari atas atap hingga menyentuh tanah.
Posisi seluruh rumah membentuk setengah lingkaran, mengelilingi satu altar batu di satu bentang lembah. Kami sempat terpana beberapa saat memandangi desa mungil, mistis, seolah maya di ketinggian 1.100 meter itu sebelum membunyikan kentungan untuk memberi tahu kedatangan kami. Hanya diperlukan sekitar 10 menit dari rumah panggung tersebut hingga akhirnya kami tiba di Wae Rebo, desa yang dikelilingi oleh hijau rimbun hutan dan gunung disekitarnya.
Selama perjalanan menuju Wae Rebo dan berpapasan dengan penduduk sana, kami selalu menjawab Burung Indonesia saat mereka menanyakan asal usul kami. Lega dan bahagia berbaur melihat wajah penduduk yang berbinar, masih mengingat Burung Indonesia yang sempat bergiat di Wae Rebo di tahun 2009.
Waktu itu Burung Indonesia menjadi organisasi yang menerapkan pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekowisata di Wae Rebo dengan bantuan pendanaan dari UNESCO. Burung Indonesia menyadari pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi untuk menjaga tetap berlangsungnya proses biofisik yang mendukung kehidupan. Hal ini penting untuk menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya serta memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat.
Sesuai dengan prinsip pengembangan ekowisata, selama bergiat di Wae Rebo, Burung Indonesia menekankan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan kawasan. Seri pertemuan dilakukan baik di level masyarakat desa, kecamatan hingga Dinas Pariwisata Manggarai untuk memperkenalkan konsep wisata budaya yang ekologis. Desa juga mulai dibenahi dengan dibangunnya sarana wisata mendasar seperti MCK, tangki air dan perpipaan untuk pasokan air bersih.
Sarana wisata yang dibangun dipilih berdasarkan musyawarah dengan masyarakat. Sehingga, bukan hanya wisatawan yang menikmati sarananya, namun juga seluruh masyarakat desa. Saat ini, enam tahun setelah pembangunannya, sarana tersebut masih terpelihara dan berfungsi baik. Saat kami datang, kami masih melihat seorang ibu mencuci pakaian dari pipa yang ada di belakang rumahnya dan melihat ibu lain memandikan bayinya.
Masyarakat dan Burung Indonesia juga menyadari bahwa salah satu daya tarik para pengunjung Wae Rebo adalah keberadaan hutan di kawasan ini. Ketua Lembaga Pariwisata Wae Rebo sempat berujar bahwa mereka akan menjaga kawasan hutan ini agar tetap lestari dan tidak boleh ada orang yang merusaknya. Saat bergiat, Burung Indonesia berusaha menyiapkan jalur trekking yang lebih mudah ditapaki namun seminimal mungkin tak menyebabkan gangguan pada kondisi hutan.
Rute perjalanan dengan beberapa poin pemberhentian disusun sesuai dengan daya tarik wisata alami seperti air terjun, keberadan burung dan pemandangan alam Flores yang mengundang decak kagum. Dengan demikian, wisatawan mendapatkan kepuasan saat berada di dalam hutan di kawasan Wae Rebo.
Teknik interpretasi sangat penting diterapkan dalam ekowisata. Pemandu ekowisatalah yang berperan kunci dalam mengarahkan perilaku positif pengunjung terhadap perlindungan dan pelestarian lingkungan. Pengetahuan lingkungan, komunikasi dan keterampilan interpretasi harus dimiliki oleh pemandu untuk memfasilitasi peningkatan pengetahuan pengunjung, sikap dan perilaku serta meningkatkan kepuasan pengunjung.
Menyadari hal tersebut, Burung Indonesia sempat memfasilitasi pelatihan bagi pemandu. Selain itu, pelatihan pelayanan akomodasi maupun makan-minum juga diberikan kepada masyarakat. Lembaga parisiwata Wae Rebo yang sudah terbentuk pun diperkuat. Selain menyiapkan kondisi internal di Wae Rebo untuk menerima tamu, Burung Indonesia membantu menyebarkan keberadaan ekowisata Wae Rebo dengan memasang billboard di lokasi strategis seperti bandara di Labuan Bajo, jalan di kota serta menyebarkan peta wisata Wae Rebo. Peta yang masih valid untuk kami gunakan enam tahun setelah diproduksi.
Sama seperti Burung Indonesia yang menindaklanjuti inisiatif ekowisata Wae Rebo dari Ibu Anita Verhoeven dan Jean Marie Bompard dari Yayasan Bumi Kita dan Indecon, peninggalan kerja Burung Indonesia pun ditindaklanjuti oleh beberapa organisasi dalam dan luar negeri serta oleh Pemerintah.
Yayasan Tirto Utomo membangun mbaru niang baru untuk wisatawan menginap serta menambah fasilitas MCK di desa. Selanjutnya Swisscontact di tahun 2012 memberikan dampingan pembelajaran bahasa Inggris bagi masyarakat Wae Rebo, terutama para ibu dan pemandu lokal. Indecon memperkuat para pemandu wisata dengan pelatihan serta pengemasan dan pemasaran produk masyarakat. Sementara itu, pemerintah melalui kegiatan PNPM meneruskan kerja infrastruktur yang dilakukan Burung Indonesia dengan membangun pembatas jalan di Pocoroko, membuat jalan para pengunjung lebih aman saat menyisir tebing.
Sampai di awal tahun 2000-an Wae Rebo hanya menerima sejumlah kecil kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara yang tertarik oleh latar pegunungan dan rumah niang. Rumah niangnya pun hanya tersisa empat karena diserang usia dan cuaca. Namun saat ini, delapanmbaru niang berdiri tegak di Wae Rebo dari dukungan banyak pihak dan masyarakatnya sendiri.
Pada 2012, Wae Rebo memenangkan penghargaan Asia Pacific Heritage, mengalahkan 42 kontestan lain dari 11 negara. Penghargaan tersebut menandakan apresiasi UNESCO terhadap proyek pembangunan kembali niang yang dipelopori oleh masyarakat dan sukarelawan. Bukan saja melanjutkan bentuk arsitektur serta praktik konstruksinya, proyek pembangunan ini juga membangun keberlanjutan semangat masyarakat Wae Rebo dan menyasar isu konservasi di tingkat lokal.
Dua tahun kemudian, tercatat tiga ribuan wisatawan mengunjungi Wae Rebo, menggelontorkan pemasukan bagi desa dan menggerakkan perputaran ekonomi lokal. Namun warga berseloroh pada kami, mengatakan bahwa uang bukanlah hal terpenting dari keberadaan ekowisata ini. “Yang terpenting, penduduk desa kami bisa berinteraksi dengan orang lain, kami bisa belajar dari para pengunjung yang datang,” tutur seorang penduduk yang sepanjang hidupnya tinggal di Wae Rebo. (Hilda Lionata, dari berbagai sumber)