Skip to content Skip to footer

Nuri Kabare, Burung Nuri Berwajah Nazar

Papua telah menjadi pulau idaman para pengembara dari barat sejak ratusan tahun lalu. Kekayaan budaya dan keunikan ragam hayatinya menarik hasrat menjelajah mereka. Berbagai studi dilakukan dan penemuan-penemuan baru banyak membuat decak kagum masyarakat dunia.

Meski lebih dikenal sebagai rumah bagi beragam jenis cenderawasih, Papua rupanya satu-satunya lokasi bagi populasi nuri kabare (Psittrichas fulgidus), burung serupa nazar yang memiliki tampilan unik bagi jenis nuri.

Penemuan burung endemis Papua dan Papua Nugini ini sempat membingungkan para peneliti karena secara morfologi mirip dengan Pyrilia vulturina dari Brazil. Nuri berukuran besar ini memiliki panjang sekitar 46 cm dan bobot mencapai 800 gram.

Membandingkan dengan jenis burung nuri lain, jelas nuri kabare memiliki tampilan unik dengan wajah tertutupi kulit hitam dan berbentuk relatif panjang serta paruh seperti burung nazar. Meski profil tubuhnya tampak cukup “menyeramkan”, rupanya suara nuri kabare lebih cenderung mirip kakatua tetapi dengan intonasi lebih pelan dan lembut.

Badan Konservasi Dunia (IUCN) mengategorikan nuri kabare sebagai jenis terancam punah berstatus Rentan (Vulnerable). Ancaman utamanya adalah perburuan liar, perdagangan, dan kerusakan habitat. Jumlah jenis burung yang biasa menempati lubang-lubang pohon besar di area pegunungan tinggi ini diperkirakan hanya tersisa 21,000 individu. Tren populasinya terus menunjukan penurunan apabila tidak dilakukan pencegahan secara terpadu.

Eksplorasi burung-burung Papua

Odoardo Beccari menjelajah Papua dan beberapa kepulauan di Maluku antara 1871 dan 1876.

Sosok burung tak lepas dari keseharian tradisi masyarakat Papua dan Papua Nugini. Ia menjadi bagian penting dalam relasi sosial dan instrumen adat. Masyarakat adat di Nugini memanfaatkan burung sebagai sumber makanan, ornamen pakaian, dekorasi, ritual, totem klan, dan lainnya.

Burung-burung khas Papua juga menarik perhatian ornitologis legendaris asal Amerika Serikat, Ernst Mayr, yang kemudian memformulasikan ide mengenai evolusi dan proses lahirnya spesies baru yang menjadi fondasi bagi proses evolusi ragam hayati modern di bumi saat ini.

Perkembangan studi ornitologi di Papua telah dimulai sejak awal 1800-an, saat sejumlah naturalis Barat melakukan survei sumber daya alam di kelompok pulau-pulau kecil di Samudera Pasifik. Andrew J. Marshall and Bruce M. Beehler dalam bukunya The Ecology of Papua mengatakan hasil penelitian tersebut kemudian mencuri perhatian para penjelajah cum naturalis yang berhasil mengembara hingga ke kawasan terpencil Papua pada pertengahan dan akhir 1800-an.

Saat menjelajahi Kepulauan Raja Ampat di Papua bagian barat, Alfred Russel Wallace begitu takjub saat menyaksikan langsung betapa unik dan atraktif  cenderawasih besar (Paradisaea apoda) dengan tampilan serta sikapnya saat mencoba menarik perhatian lawan jenis, pun dengan para penjelajah lainnya. Naturalis asal Italia, Odoardo Beccari menjelajahi Pegunungan Arfak; L’Albertis mengarungi Fly River dalam tiga ekspedisi berbeda; dan William Macgregor menembus pegunungan di Papua bagian tenggara. Penjelajahan lain pun terus berlangsung, bahkan hingga saat ini. Temuan baru menanti.

***

Penting untuk diketahui: Dari sekitar 10,000 jenis burung yang ada di dunia, Indonesia merupakan rumah bagi 1,769 jenis burung liar. Mengetahui beragam jenis burung beserta jasa lingkungannya merupakan salah satu cara menghargai kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia.

id_ID