Skip to content Skip to footer

Tinjauan Tengah Tahun Program Kemitraan Wallacea II

Menciptakan dan Memperkuat Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

Di banyak proyek, langkah awal yang paling efektif untuk membangun daerah perlindungan laut (DPL) berbasis masyarakat adalah masyarakat yang secara tradisional telah memiliki pengetahuan untuk menghadapi terbukanya akses terhadap eksploitasi yang berlebihan dengan cara menetapkan dan melaksanakan pembatasan pemanenan ikan.

Penggalian kembali norma-norma tradisional terkait pengelolaan sumber daya, yang kemudian direvitalisasi dan diadaptasi, menjadi dasar dari peraturan pengelolaan sumber daya yang dapat diterima secara luas. Dalam kasus-kasus lain, masukan dari sumber eksternal seperti masyarakat nelayan di tempat lain, peneliti, dan pemerintah, sangat berharga dan perlu diperkenalkan serta dikomunikasikan dengan cara yang tepat dan dapat diterapkan.

Proyek-proyek tersebut mencakup proyek di KBA Wabula di Koridor Laut Sulawesi Tenggara; KBA Pantai Selatan Lebau dan Teluk Hadakewa di Koridor Laut Solor-Alor; KBA Haruku, Saparua, Nusalaut, dan KBA Kelang-Kassa-Buano-Marsegu di Koridor Laut Buru.

Hasilnya, lebih dari 70.000 hektare wilayah laut dikelola dengan lebih baik dengan peraturan yang jelas tentang pembatasan panen, alat tangkap dan zona, kelompok pemantau/patroli lokal atau adat; serta peningkatan pengetahuan serta praktik-praktik berkelanjutan oleh masyarakat. Hal ini berdampak pada pengurangan jumlah penangkapan ikan yang merusak, tangkapan ilegal dan tidak berkelanjutan (misalnya ikan napoleon, ikan kakatua, teripang susu putih), dan tangkapan sampingan (misalnya penyu hijau, penyu sisik).

Nelayan memperoleh akses dan perlindungan yang lebih baik dari pemerintah, seperti registrasi 384 orang ke dalam sistem pemerintah (KUSUKA) dan 192 orang telah mendaftarkan kapalnya. Kami mencatat peningkatan pendapatan setidaknya 10 USD per bulan untuk kelompok masyarakat di empat desa. Selain itu, berbagai DPL lokal ini berkontribusi pada DPL formal yang diinisiasi pemerintah seperti Kawasan Konservasi Perairan RZWP3K Zona MHA Wabula, Kawasan Konservasi Perairan Flores Timur, Kawasan Konservasi Perairan Lembata, Taman Wisata Alam Pulau-Pulau Kecil Pulau-Pulau Kecil, Taman Wisata Alam Pulau-Pulau Kecil Buano.

Mendukung Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Pemerintah

Pemerintah Indonesia telah menetapkan lebih dari 24 juta hektare kawasan konservasi laut untuk mencapai target global 32,5 juta hektare pada tahun 2030, serta menargetkan pengelolaan yang efektif. Beberapa proyek telah berkontribusi pada pengelolaan dan implementasi yang efektif di kawasan konservasi laut yang telah ditetapkan, seperti proyek-proyek di Kawasan Konservasi Perairan Selat Pantar di Koridor Laut Solor-Alor, Kawasan Konservasi Perairan Liukang-Tangaya di Koridor Laut Pangkajene Kepulauan, dan Kawasan Konservasi Perairan Banggai Dalaka di Koridor Laut Togean-Banggai.

Proyek ini telah mengembangkan kapasitas masyarakat dalam pemantauan dan patroli pesisir secara partisipatif untuk mengatasi penangkapan ikan yang merusak, rehabilitasi terumbu karang, perjanjian penangkapan ikan yang berkelanjutan (zona dan alat tangkap), pengetahuan dan keterampilan untuk mempraktikkan perikanan yang berkelanjutan, serta membangun sinergi dengan otoritas pemerintah yang mengelola DPL formal.

Hasilnya, lebih dari 5.600 hektare zona penangkapan ikan dikelola dengan lebih baik melalui peraturan desa dan kesepakatan masyarakat yang melindungi hutan bakau, terumbu karang, serta habitat gurita dan ikan capungan banggai. Setidaknya empat spesies, seperti ikan napoleon dan penyu hijau, menjadi lebih terlindungi dengan adanya peraturan desa dan kesepakatan masyarakat.

Patroli masyarakat juga telah terhubung dengan otoritas pemerintah dan berkolaborasi untuk melakukan patroli bersama. Sekitar 70 m² area terumbu karang di Selat Pantar direhabilitasi dengan menggunakan tumpukan batu, sementara 48,2 hektare terumbu karang di Banggai Dalaka, yang menjadi habitat gurita, dipulihkan melalui pengelolaan sistem panen.

Selain itu, 285 orang telah menerima manfaat langsung dari peningkatan pengelolaan KKP. Di Banggai Dalaka, misalnya, produksi perikanan nelayan telah meningkat; panen gurita dari 705 ton pada tahun 2017 menjadi 1.080 ton pada tahun 2022, dan pendapatan sekitar 85 orang telah meningkat dari Rp 500.000/bulan (USD 34) menjadi Rp 1.500.000/bulan (USD 102).

Berkontribusi pada Perlindungan Spesies dan Peningkatan Produksi Komoditas Perikanan

Untuk menangani kebutuhan ekonomi jangka pendek yang menjadi pendorong eksploitasi yang tidak berkelanjutan dan menghambat perubahan, diperlukan tindakan khusus. Di beberapa proyek, mengatasi kebutuhan praktis masyarakat yang mendesak dan mengaitkannya dengan masalah-masalah lingkungan jangka panjang merupakan elemen penting.

Pada sebagian kasus, menangani prioritas-prioritas di masyarakat yang sifatnya percepatan dapat membantu para penerima hibah dalam membangun hubungan yang positif dengan masyarakat, sehingga memudahkan mereka untuk mengerjakan masalah-masalah yang lebih sulit dengan prioritas konservasi yang lebih tinggi seperti proyek-proyek di Koridor Laut Solor-Alor, Koridor Laut Sulawesi Utara, dan Koridor Laut Togean-Banggai.

Melalui Program Kemitraan Wallacea II, masyarakat di dua desa di Alor telah beralih dari menangkap hiu tikus (Alopias pelagicus) ke tuna sirip kuning (Thunnus albacares), sebagai hasil dari serangkaian peningkatan kapasitas bagi 100 orang mengenai pengelolaan dan praktik perikanan serta patroli masyarakat. Hasilnya, jumlah hiu tikus yang diburu berkurang drastis dari 233 ekor di tahun 2021 menjadi 55 ekor di tahun 2022.

Sementara itu, proyek lain berhasil menghentikan tangkapan sampingan dugong di dua desa di KBA Perairan Sangihe (Sulawesi Utara) dengan memperkuat DPL berbasis masyarakat dan pengelolaan perikanannya. Melalui serangkaian pengembangan kapasitas dan pendampingan, kedua pemerintah desa telah merevisi peraturan desa dan mengalokasikan total Rp. 108.400.000,- (USD 7.371) untuk pengelolaan DPL, modal awal koperasi, dan peralatan pemantauan pantai. Selain itu, koperasi masyarakat telah menjual hasil panen pertama mereka sebanyak 15 kg teripang seharga Rp 3.000.000 (USD 204).

Pendekatan serupa juga diterapkan di Koridor Laut Sulawesi Selatan. Dengan meningkatkan pengelolaan panen gurita, masyarakat di dua pulau telah meningkatkan pendapatan dan akses terhadap usaha perikanan, mengurangi ancaman terhadap enam spesies (misalnya, penyu hijau tidak lagi diburu), dan menjaga terumbu karang agar tetap sehat.

Pendekatan yang berbeda dilakukan di proyek-proyek lain. Di Pulau Sapuka di Koridor Laut Kepulauan Pangkajene, Program Kemitraan Wallacea II telah berhasil mengurangi penangkapan dan perdagangan teripang yang tidak berkelanjutan—dua jenis di antaranya dikategorikan sebagai Rentan (Vulnerable) oleh IUCN—dengan menggunakan penelitian partisipatif masyarakat sebagai titik awal. Di KBA Perairan Kepulauan Togean di Koridor Laut Togean-Banggai, proyek ini memperkenalkan inovasi teknologi sederhana menggunakan limbah kelapa untuk merehabilitasi terumbu karang di area seluas dua hektare, dan menghubungkan nelayan dengan sektor swasta.

Meningkatkan Mata Pencaharian Masyarakat dan Berkontribusi pada Industri Perikanan Skala Kecil

Bekerja pada perikanan skala kecil memberikan kesempatan untuk bekerja secara langsung pada penghidupan lokal, yang dapat memberikan manfaat jangka pendek yang lebih nyata bagi masyarakat daripada menetapkan zona larang tangkap, misalnya. Dalam praktiknya, zona larang tangkap dan KPL lokal cenderung menjadi bagian dari strategi pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang lebih luas. Ketika produksi perikanan dikomersialkan, sektor swasta memainkan peran penting dalam menetapkan standar untuk hasil laut yang dibelinya.

Proyek-proyek yang bertujuan mengaitkan pasar dan standar produk perikanan, termasuk membangun keterampilan dan kapasitas kelembagaan nelayan untuk memungkinkan mereka berpartisipasi dalam sertifikasi dan skema perikanan berkelanjutan, di antaranya diterapkan di KBA Perairan Balantak dan KBA Perairan Peleng Banggai di Koridor Laut Togean-Banggai, serta di KBA Selat Lembeh dan KBA Perairan Likupang di Koridor Laut Sulawesi Utara. Proyek-proyek ini dimulai dari mata pencaharian masyarakat nelayan skala kecil dengan komoditas seperti tuna dan kepiting bakau, keterlibatan perempuan sebagai pemain kunci dalam rumah tangga nelayan, kemudian ditingkatkan menjadi pengembangan pengelolaan zona dan alat tangkap ikan. Beberapa proyek bahkan berkontribusi dalam pembentukan KPL secara formal dan koneksi dengan pasar.

Pengelolaan 935 hektar zona penangkapan ikan telah dilakukan dengan lebih baik. Sedikitnya 315 orang mendapatkan manfaat langsung berupa peningkatan pendapatan mulai dari Rp 625.000 (USD 42) hingga Rp 7.205 (USD 485) melalui transaksi dengan sektor swasta dan penjualan langsung ke desa-desa tetangga dan pasar tradisional. Kerja sama dengan sektor-sektor swasta telah terjalin antara masyarakat dan PT Aruna di Togean-Banggai, Asosiasi Pancing dan Pancing Ulur Indonesia di Sulawesi Utara, dan sebuah koperasi untuk pemasaran bersama di Togean-Banggai. Akses ke layanan pemerintah ditingkatkan untuk setidaknya 114 nelayan melalui sistem registrasi perikanan (KUSUKA) dan perizinan, serta untuk kelompok perempuan melalui penyediaan peralatan untuk produksi produk makanan perikanan (misalnya abon ikan, bakso) dan izin pemasaran. Sebuah perusahaan milik negara di Sulawesi Utara memberikan bantuan sebesar Rp 75.000.000 (USD 5.282) kepada kelompok perempuan untuk pembelian peralatan produksi.

Peningkatan mata pencaharian masyarakat melalui pengelolaan perikanan yang lebih baik telah memberikan dampak konservasi, seperti penurunan jumlah tangkapan sampingan penyu lekang (Lepidochelys olivacea), berkurangnya pengambilan telur penyu hijau (Chelonia mydas), dan menurunnya pengeboman. Selain itu, kesadaran masyarakat juga meningkat sehingga, misalnya, masyarakat di KBA Perairan Balantak telah membangun tempat penetasan penyu sendiri dan masyarakat di Desa Uwedikan telah merehabilitasi terumbu karang seluas 12,2 hektar serta mengalokasikan 5% dari pendapatan kelompok nelayan untuk konservasi.

id_ID