Kepopuleran rangkong gading (Rhinoplax vigil) dalam dunia satwa ternyata menyimpan kisah tersendiri. Secara morfologi burung purba ini memiliki balung besar serupa helm yang membuatnya jadi primadona pemburu. Ia juga memiliki ukuran badan besar yang dibalut bulu berwarna dominan hitam. Ukuran tubuh ini diimbangi dengan panjang ekor yang melebihi jenis rangkong lainnya.
Balung besar berwarna merah dengan aksen kuning tersebut yang menarik perhatian pemburu. Balung yang berat ini kerap digunakan untuk adu kekuataan saat berebut sarang. Katakanlah rangkong gading ini fashionably attractive, terutama saat ia terbang mengitari hutan tropis dengan kepakan sayapnya seperti mengibas udara di angkasa. Jangan lupakan ekor panjang yang menambah daya tarik penghuni hutan tropis Asia Tenggara ini.
Mungkin tak banyak yang tahu ada cerita rakyat dari Dayak yang berkaitan dengan rangkong gading. Cerita rakyat tersebut mengisahkan kebencian seorang laki-laki terhadap ibu mertuanya. Suatu hari, didorong oleh kebencian teramat dalam, ia merobohkan rumah ibu mertuanya dengan kapak. Sang ibu masih ada di dalamnya, lelaki tersebut lantas tertawa terbahak-bahak. Perilaku kejam tersebut membuat Dewa marah dan menghukum si laki-laki durhaka tersebut dengan mengubah wujudnya menjadi burung rangkong yang bersuara seperti kapak dan tertawa seperti manusia. Namun bagi masyarakat Dayak, rangkong gading merupakan simbol keberanian, pelindung, dan perantara antara mereka dan leluhur.
Suara khasnya bisa didengar menggema di belantara hutan. Jika cerita rakyat mengasosiasikan suara tersebut dengan tawa dan papakan kapak, maka dunia ornitologi punya cerita sendiri. Suara nyaring yang terdengar hingga radius 2 kilometer ini salah satunya untuk menarik perhatian pasangannya.
Berkaitan dengan pasangan hidup, rangkong gading dikenal sangat setia terhadap pasangannya. Sepasang rangkong gading akan terus bersama hingga akhir hayat mereka. Kehidupan mereka berdua dihabiskan di lubang yang terdapat di ketinggian pohon-pohon besar. Pemilihan sarang ini bukan tanpa alasan. Mereka hanya mampu menetaskan satu anak dalam satu musim kawin dan membesarkannnya di sarang, serta untuk menjauhkan diri dari pemangsa.
Keduanya berbagi peran yang sama penting. Sang jantan bertugas mencari makan berupa buah-buahan di hutan, sementara sang betina menjaga telur atau anak mereka dari pemangsa. Bukan tugas yang mudah tentu saja. Dengan demikian selain perkembangbiakannya lambat, jenis burung inipun menghadapi tantangan berat.
Perjalanan rangkong gading jantan di hutan untuk mencari buah ara, pakan favorit mereka, dihadang sejumlah ancaman. Pemburu si penjelajah hutan ini terus mengintai di balik belukar. Keperkasaan penjantan ini bisa sirna oleh tembakan pemburu yang mengincar balung mereka. Balung-balung yang mengandung keratin ini ternyata memiliki nilai tersendiri bagi para pemburu yang kemudian menjualnya di pasar gelap.
Balung- balung ini lantas diubah menjadi karya ukiran yang laris di kalangan elit di Cina. Permintaan yang tinggi menyebabkan perburuan rangkong gading terus terjadi dan mengancam kehadiran mereka di alam. Jika pejantannya mati diburu, betina dan anaknya berada dalam bahaya lain yaitu kelaparan. Kematian tentu saja menjadi niscaya bagi jenis ini.
Ancaman lain yang terus meneror adalah deforestasi besar-besaran hutan tropis yang menyebabkan hilangnya pohon-pohon besar tempat rangkong gading bersarang. Pembukaan dan alih fungsi lahan tak berkelanjutan tentu saja menjadi momok besar bagi mereka. Tak hanya kehilangan habitat, ekosistem yang rusak akibat deforestasi ini tentu menghilangkan sumber pakan mereka.
Badan Konservasi Alam (IUCN) saat ini menetapkan rangkong gading dalam kategori Kritis (Critically Endangered/CR), selangkah lagi menuju kepunahan. Sementara itu tren populasinya terus menurun dan ancaman terus mengintai. Apabila ini terus terjadi, bukan tidak mungkin si petani hutan ini akan hilang dari hutan tropis kita yang berarti pula kerugian bagi manusia. (ARI)
Temukan cerita menarik tentang rangkong gading di tautan ini