Skip to content Skip to footer

Ruang untuk Sang Pejuang

Seperti dalam perang, tak semua orang punya kemampuan untuk berdiri menjadi pejuang di garis depan. Tapi setiap orang bisa mengambil perannya terutama dengan memberi badak sang hewan pemalu yang tengah bertahan hidup melawan waktu ini tetap lestari.

oleh Natalia Oetama*

Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) Rosa in the Sumatran Rhino Sanctuary, Way Kambas, Sumatra, Indonesia. (Foto: Willem v Strien, CC 2.0 Generic license)

“Benar gak sih, kulit badak itu tebal?” tanya saya kepada Rama, ketika berjalan kaki di dalam kawasan Taman Nasional Way Kambas. Rama adalah salah satu pemandu yang bertugas memandu saya dan rombongan di bentangan hutan dataran rendah seluas 125.000 hektar ini. Rama tertawa. Ia memelankan langkah dan menatap saya dari balik bingkai kacamatanya. “Iya, tapi badak itu hewan pemalu!”

Di sudut tenggara pulau Sumatra, sekitar 100 km dari kota Lampung, di sanalah Taman Nasional Way Kambas berada. Kawasan TNWK, begitu biasa Taman Nasional ini dikenal, telah dilestarikan sejak tahun 1936, dan kini menjadi rumah dari lima hewan mamalia besar: gajah sumatra, harimau sumatra, beruang madu, tapir, dan badak sumatra. Sebagian besar dari mereka ini terancam punah, dan satu yang paling kritis saat ini, badak sumatra.

Bulan September 2015 adalah kunjungan pertama saya ke TNWK. Tulisan saya tentang keindahan pulau-pulau di Indonesia Timur mengantarkan saya memenangkan kompetisi blog yang diadakan oleh Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati Indonesia). Sebagai hadiah, saya dan dua finalis lain diajak bermain dan belajar ke TNWK.

Kunjungan ke TNWK ini membuka wawasan saya tentang beberapa mamalia besar di sini. “Hah? Jadi kiasan kulit badak ga 100% relevan, dong?!” sungut saya sembari mengernyitkan kening. Sejurus kemudian, Rama menuturkan ceritanya yang informatif soal badak.

Nama ilmiah dari famili badak, Rhinocerotidae, berasal dari bahasa Yunani. Rhino berarti hidung, dan keras yang berarti tanduk. Si hidung tanduk, begitulah kira-kira arti harafiah dari namanya si badak. Hewan yang telah menempati bumi, tepatnya di dua benua “kuno” yakni Asia dan Afrika, selama 50 juta tahun ini adalah hewan yang suka menyendiri. Ini mungkin jadi alasan di balik populasi badak yang kian berkurang, selain tentu saja perburuan cula secara keji oleh manusia. Mitos tak berdasar tersebut yang entah mengapa begitu kuat potensinya. Cula badak mampu menyembuhkan berbagai penyakit, katanya. Cula badak mampu menjadi obat kuat, katanya. Padahal, “cula itu sama seperti kuku kita, cuma keratin saja, gak lebih!” ucap Rama dengan suara yang memendam kekesalan.

Nusantara dengan hutan-hutannya yang megah menjadi tuan rumah dua dari lima spesies badak yang masih bertahan di muka bumi. Badak jawa kini hanya dapat ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan badak sumatra yang jumlahnya kurang dari 80 ekor di dunia, tersebar di beberapa Taman Nasional di Indonesia seperti di Taman Nasional Gunung Leuser Aceh, Taman Nasional Bukit Barisan, Taman Nasional Way Kambas dan satu badak betina di Suaka Rhinos Sumatera (SRS) Hutan Lindung Kelian Lestari, Kalimantan Timur.

Suaka Rhinos Sumatera (SRS) Way Kambas merupakan suaka badak pertama yang dibangun di Indonesia. Hingga tahun 2020, SRS Way Kambas ditempati oleh tujuh badak, tiga jantan dan empat betina.

“Badak itu sensitif banget dengan sekelilingnya, Nat …” tutur Rama menjelaskan, ketika saya bertanya kemungkinan untuk melihat langsung hewan yang lebih mengandalkan ketajaman indra pendengaran dan penciumannya daripada penglihatannya. Tak hanya penyendiri, mamalia ini sangat mudah merasa terganggu bahkan oleh pasangannya sendiri. Inilah yang jadi alasan kuat tak sembarang orang dapat berkunjung ke sini. Dibutuhkan perizinan khusus dari YABI (Yayasan Badak Indonesia) untuk dapat mengunjungi kawasan SRS.

Badak Sumatra merupakan badak dengan ukuran terkecil dibandingkan 4 sepupu lainnya. Meski yang terkecil, Badak Sumatra dipercaya sebagai spesies badak yang paling primitif, karena ia satu-satunya badak yang memiliki bulu. Badak Sumatra dianggap sebagai kerabat terdekat dari hewan purba Wooly rhinoceros, yang pernah hidup di zaman es.

Badak menghabiskan waktu mereka hari demi hari dengan merumput. Berkeliling hutan dan mencicipi pucuk-pucuk daun. Dalam sehari, mereka mampu menghabiskan sekitar 50 kg pucuk-pucuk daun, yang setara dengan 10 persen bobot tubuhnya. Setelah puas makan, badak akan mencari tempat pembuangannya.

Pada siang yang begitu panas mereka akan mencari rawa atau kubangan beristirahat dan mendinginkan tubuh mereka. Lumpur yang menempel pada tubuh mereka juga berfungsi sebagai tabir surya alami bagi badak. Meskipun kulit badak dapat bertumbuh hingga ketebalan 5 cm, namun kulit ini begitu sensitif terhadap gigitan serangga. Maka itu, lumpurlah yang membantu melembabkan kulit mereka, dan mencegah parasit dan serangga untuk tinggal dan menggerogoti lapisan kulit yang mengandung kolagen tersebut.

Saya bayangkan, berkubang lumpur bagi badak mungkin seumpama berendam di spa. Menikmati me time di bawah rindangnya pohon. Gemersik angin yang meniup dedaunan jadi musik latar tidur siang mereka. Sedap betul! Badak sungguh tahu cara menikmati hari.

Kemampuan badak menikmati diri ini, di sisi lain jadi batu sandungan bagi kemampuan spesies ini dalam berkembang biak. Badak sumatra yang terpencar di beberapa lokasi, memperkecil kemungkinan pertemuan bagi makhluk pemalu ini untuk bersua dengan badak lainnya. Sedangkan, badak betina yang tidak dibuahi dalam jangka waktu lama, meningkatkan potensinya untuk terkena mioma atau bahkan kanker rahim. Masa kehamilan badak yang mencapai 15-16 bulan dan hanya mampu melahirkan satu anak per kelahiran pun jadi batasan yang semakin memperkecil ruang bagi spesies ini untuk berkembang biak. Hal ini masih diperparah dengan tingginya sensitivitas badak yang mensyaratkan kondisi fisik dan kenyamanan lingkungan yang tepat untuk kawin. Sungguh pelik!

“Itu jalan ke SRS, Nat!” ucap Rama menunjuk ke cabang jalan ketika mobil kami melaju menuju kawasan gajah. Saya pandang lekat-lekat ujung jalan tersebut hingga tak lagi terlihat. TNKW yang terbentang seluas 125.651 hektar ini adalah salah satu benteng terakhir dari spesies purba yang memiliki dua cula ini. Layaknya benteng, penjagaan untuk makhluk yang tengah bertahan melawan zaman ini sudah seharusnya diketatkan dari campur tangan manusia yang terlalu berbinar melihat badak sebagai sumber penghasilan, alih-alih melestarikannya.

Dalam hati, saya bergumam. Seperti dalam perang, tak semua orang punya kemampuan untuk berdiri menjadi pejuang di garis depan. Tapi setiap orang punya peran masing-masing. Peran kecil yang bisa saya lakukan adalah menuliskan cerita dan membagikan fakta tentang badak sumatra. Saya ingin membuat lebih banyak orang untuk sadar dan peduli pada kisahnya, dengan tipisnya harapan mereka untuk bertahan. Bukan untuk sekadar datang berkunjung, tapi justru untuk memberinya ruang tanpa mengusik habitat mereka.


*Penulis adalah salah satu pemenang utama dari lomba menulis blog Anak Muda Cinta Taman Nasional (AMCTN) yang didukung oleh USAID BIJAK, Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI, Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia), Tambora Muda, Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Yayasan OnTrack Media Indonesia (OTMI) dan Hutan Itu Indonesia (HII).

id_ID