Skip to content Skip to footer

Sangihe: Pulau Kecil Tempat Singgahnya Burung Migran

Setiap tahun, wilayah Indonesia menjadi tempat singgah ribuan “tamu” dari bumi belahan utara. Burung-burung migran (migratory birds) mengunjungi Indonesia selama di tempat berbiaknya mengalami musim dingin (wintering). Kemudian akan pulang ke tempat asal mereka, setelah kondisi di sana hangat untuk bereproduksi. Pergerakan migrasi ke wilayah non-berbiak, atau arus datang (autumn migration) terjadi pada bulan September-Oktober, sementara pergerakan kembali ke area berbiak, arus balik (spring migration) biasanya terjadi pada bulan Maret-April. Menurut BirdLife International, terdapat delapan jalur utama burung bermigrasi di seluruh dunia yaitu Pacific Americas, Central Americas, Atlantic Americas, East Atlantic, Black Sea – Mediterranean, East Asia – East Africa, Central Asia, dan East Asia – Australasia.

Wilayah Indonesia termasuk dalam bagian  Jalur Terbang  Asia Timur-Australasia (East-Asia Australasian Flyway). Terbagi menjadi dua rute, yaitu Jalur Darat Asia Timur (East Asia Continental Flyways) dan Jalur Laut Asia Timur (East Asia Oceanic Flyways). Jalur darat yang berarti burung melakukan migrasi mengikuti daratan besar Asia membentang dari Cina, Laos, Thailand, Malaysia, dan masuk ke Indonesia. Sedangkan Jalur laut berarti burung-burung melakukan migrasi dari utara menuju Jepang, Cina, Taiwan, Filipina, kemudian Indonesia dengan melintasi lautan dan hanya mengandalkan sebaran pulau-pulau kecil sebagai tempat persinggahannya. Pada jalur East Asia Oceanic Flyways, Sangihe menjadi pulau yang memiliki nilai penting (bottle neck) sebagai penghubung daratan Filipina dengan Indonesia.

Sangihe memiliki total luas daratan 736,98 Km2, yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Meskipun berupa pulau – pulau kecil tetapi pulau ini memiliki tingkat endemisitas dan fungsi ekologis yang besar. Sangihe ditetapkan sebagai Endemic Bird Area (EBA), salah satu dari 33 Important Bird and Biodiversity Area (IBA) di Sulawesi, dan Key Biodiversity Area (KBA). Letaknya yang berada di ujung utara Indonesia dan dikelilingi oleh Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik, menjadikan Sangihe sebagai jembatan (bridge island) berbagai jenis burung yang melintas dari Filipina menuju daratan Sulawesi.

Setidaknya 87 jenis burung hidup dan berkembang di Pulau Sangihe, salah satu tempat beristirahat (roosing site) bagi mereka adalah Hutan Lindung Gunung Sahendaruman. Dari jumlah tersebut, 32 jenis merupakan burung migran dan tujuh jenis burung adalah endemis dengan tingkat ancaman kepunahan yang tinggi secara global. Indonesia sendiri memiliki jumlah burung migran sebanyak 262 jenis, yang berarti 12,2% jenis di antaranya dapat dijumpai di Pulau Sangihe. Pada 2007, Fransesco Germi dan koleganya melakukan penelitian terhadap fenomena migrasi burung pemangsa selama satu musim. Pengamatan yang dilakukan selama migrasi datang (autumn migration) dan migrasi balik (spring migration) menunjukkan sebanyak 230.214 individu dari enam burung pemangsa melintas di langit Sangihe.

Hutan Gunung Sahendaruman, benteng terakhir jenis-jenis endemis terancam punah Sangihe (Foto: Burung Indonesia/Ganjar A. Cahyo)

Burung Indonesia (2020) melakukan pengamatan pada saat musim migrasi balik (spring migration), yakni pada Maret hingga April 2020 lalu, dengan hari pengamatan efektif 11 hari. Pengamatan dilakukan di dua lokasi yang berbeda mulai pukul 07:00-12:00 WITA. Hasilnya, sebanyak 5.981 individu dari enam jenis raptor migran diketahui mengangkasa di langit Sangihe. Jenis burung raptor migran yang teramati di antaranya adalah elang-alap cina (Accipiter soloensis), elang-alap nipon (Accipiter gularis), alap-alap erasia (Falco tinnunculus), elang kelabu (Butastur indicus), elang tiram (Pandion haliaeetus), dan sikep-madu asia (Pernis ptilorynchus). Sama halnya dengan hasil temuan Germi dkk, jenis raptor yang paling mendominasi jumlahnya adalah elang-alap cina dan diikuti oleh elang kelabu. Jumlah hari pengamatan, lokasi pengamatan, serta periode pengamatan yang berbeda dengan Germi serta waktu memulai pengamatan yang kemungkinan sudah di tengah masa migrasi membuat hasil yang ditemukan sangat jauh berbeda. Belum lagi gangguan kabut yang rata-rata menyelimuti langit Sangihe saat pengamatan hingga pukul 08:30 WITA, membuat kemungkinan banyak jumlah individu yang terlewatkan untuk teramati.

Mengamati fenomena burung raptor migrasi ini penting. Mengingat raptor menempati posisi puncak dalam rantai makanan, sehingga keberadaannya dapat menekan populasi hama yang merugikan manusia sekaligus pengontrol keberlangsungan ekosistem. Kemudian, jumlahnya yang ribuan bahkan ratusan ribu dalam satu kali periode migrasi akan menyediakan pupuk alami bagi pemulihan vegetasi di suatu habitat. Selain itu, dengan melakukan pengamatan terhadap fenomena bermigrasi dapat memberikan informasi mengenai lokasi-lokasi yang berpotensi sebagai tempat singgah atau tujuan migrasi, kemudian memberikan informasi dan saran bagi para pemangku kepentingan dan penentu kebijakan untuk menentukan langkah serta prioritas konservasinya, baik jenis maupun habitat alaminya.

Sayangnya, baik burung penetap maupun burung migran keberadaannya kini kian terancam oleh perubahan habitat dan alih fungsi lahan. Pembukaan dan pengelolaan lahan yang masif dan tidak berkelanjutan menyisakan hutan primer di Pulau Sangihe hanya tersisa 1.821 Ha atau 2,5% saja dari seluruh luas daratan Pulau Sangihe. Hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh Burung Indonesia beserta mitra kerja pada tahun 2018 tersebut menyebutkan bahwa hutan alam yang tersisa hanya ada di puncak-puncak dan tebing yang membentang di Hutan Lindung Gunung Sahendaruman II.

Hal ini menjadi perhatian yang penting dan upaya-upaya pelestarian harus semakin digalakkan. Jika tidak, bukan hanya burung-burung endemis yang akan terancam punah, namun 32 jenis dari 292 burung migran di Indonesia akan hilang dari Sangihe. Oleh karena itu, saat ini Burung Indonesia sedang  melakukan upaya-upaya pelestarian burung beserta habitatnya melalui peningkatan kapasitas komunitas masyarakat, peningkatan mata percaharian alternatif, dan mendorong kesepakatan multipihak yang diharapkan dapat menjadi sebuah rujukan bagi pemerintah daerah, pemerintah desa dan masyarakat dalam melakukan pengelolaan dan pembangunan yang berkelanjutan. (GAN)

id_ID