Skip to content Skip to footer

#15thnBurungIndonesia: 10 Tahun Jejak Burung Indonesia di Tanah Halmahera

Pulau Halmahera memiliki keanekaragaman hayati yang sungguh kaya. Sebagai bagian dari kawasan Wallacea yang mahsyur akan keunikan ragam hayati di dalamnya, pulau yang masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Maluku Utara ini merupakan rumah bagi beragam jenis satwa endemis. Setidaknya dari 226 jenis burung yang tercatat di Pulau Halmahera, 40 jenis merupakan jenis endemis Maluku bagian Utara, dan empat jenis di antaranya hanya dapat ditemukan di Pulau Halmahera.

Tutupan hutan terluas yang berada di provinsi ini juga berada di Pulau Halmahera, dengan blok-blok hutan terbesar dan terlengkap berada di blok hutan Aketajawe (77.100 hektare) dan Lolobata (90.200 hektare) atau saat ini lebih dikenal sebagai Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Blok-blok hutan ini juga menjadi rumah bagi masyarakat semi-nomaden yang dikenal sebagai masyarakat Tobelo Dalam.

Dalam Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP-Indonesia’s Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003-2020 yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di Indonesia. Hal tersebut mempertegas pentingnya keberadaan Pulau Halmahera untuk mendukung perluasan kawasan lindung di Indonesia.

Upaya perlindungan blok Aketajawe dan Lolobata pertama kali muncul dalam Rencana Konservasi Nasional pada 1981 yang mengusulkan empat kawasan lindung di Pulau Halmahera, yakni Aketajawe, Lolobata, Saketa, dan Gunung Gamkonora. Namun, upaya perlindungan yang konkrit untuk kawasan ini baru muncul pada 1993 melalui Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia yang merekomendasikan blok hutan Lolobata sebagai kawasan prioritas untuk perlindungan.

Bidadari halmahera (Semioptera wallacii), burung endemis Maluku bagian utara yang memikat Alfred Russel Wallace pada 1858.
(Foto: Burung Indonesia/Riza Marlon)

Untuk memantapkan tahapan menuju kawasan lindung, pada periode 1994-1996, BirdLife International-Indonesia Programme (sebelum menjadi Burung Indonesia pada 2002) melaksanakan survei secara terpadu dan mengidentifikasi Aketajawe dan Lolobata sebagai Daerah Penting bagi Burung dan Keragaman Hayati (IBA – Important Bird and Biodiversity Area). Sebelumnya, ada usulan untuk memisahkan Aketajawe dan Lolobata sebagai dua kawasan lindung yang berbeda; di bagian utara menjadi Suaka Margasatwa Lolobata, sedangkan Aketajawe yang berada di sisi selatan menjadi Cagar Alam Aketajawe. Namun, pada 1995, Burung Indonesia mengusulkan agar blok hutan ini dapat terintegrasi menjadi satu kawasan lindung.

Baca juga: #15thnBurungIndonesia: Menjembatani Dunia Konservasi dan Pendidikan Melalui Buku Muatan Lokal

Setahun menjelang pergantian abad, Burung Indonesia memperkirakan walaupun hanya tersisa sekitar 4,5% hutan dataran rendah yang berada di Halmahera, setidaknya 50% tipe hutan lainnya masih bertahan dan dapat ditemukan di kedua blok hutan ini, kecuali hutan mangrove. Burung Indonesia bersama berbagai pihak terus melakukan kajian untuk mendorong agar kedua blok hutan ini dapat ditetapkan menjadi kawasan taman nasional.

Pada 1999, Pemerintah Indonesia telah menyetujui agar Aketajawe dan Lolobata terintegrasi menjadi satu taman nasional. Tetapi, pecahnya kerusuhan sipil di Provinsi Maluku di tahun yang sama menghambat proses deklarasi hingga kondisi sosial dan politik di area tersebut betul-betul stabil pada 2002. Sementara itu, perambahan hutan yang terjadi di Aketajawa dan Lolobata saat itu juga masih berlangsung secara masif. Oleh sebab itu, Burung Indonesia terus mendorong agar proses pembentukan taman nasional pertama di Pulau Halmahera ini dapat terwujud.

Kawasan TNAL 6 (Large)

Selama sepuluh tahun “memupuk” usaha agar kedua blok hutan ini dapat terlindungi dari kerusakan, upaya tersebut baru berbuah pada 2004, saat tim terpadu yang terdiri dari LIPI, PHKA, dan LH yang difasilitasi oleh Burung Indonesia melakukan kajian lebih komprehensif untuk merekomendasikan kembali Aketajawe dan Lolobata sebagai taman nasional kepada Kementerian Kehutanan saat itu. Tepat pada 18 Oktober 2004, Taman Nasional Aketajawe-Lolobata resmi dideklarasikan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.397/Menhut-II/2004 dengan total luas 167.300 hektare.

Baca juga: #15thnBurungIndonesia: Menyusun Profil Lanskap Konservasi Kawasan Wallacea

TN Aketajawe-Lolobata menjadi satu dari sembilan taman nasional yang dideklarasikan di tahun yang sama oleh pemerintah Indonesia. Dalam hal pengelolaan taman nasional, Burung Indonesia turut mendesain model manajemen kolaboratif multipihak yang diharapkan sesuai dengan kondisi di Halmahera. Desain model manajemen ini membuka kerjasama antara pengelola taman nasional, pemerintah daerah, pihak swasta, dan organisasi masyarakat lokal untuk mengelola lanskap sekitar taman nasional dan sumber daya alam di dalamnya secara berkelanjutan. (MEI)

***

Logo-Ultah-15_avatar-150x150Penerbitan artikel ini merupakan bagian dari rangkaian publikasi menyambut ulang tahun Burung Indonesia yang ke-15 tahun. Setiap tanggal 15 selama 2017 kami akan mempublikasikan beragam artikel mengenai capaian-capaian terbaik yang telah Burung Indonesia raih selama 15 tahun bekerja di rumah bagi 1769 jenis burung ini.

id_ID