Skip to content Skip to footer

Burung Kicau di Indonesia: Dulu dan Kini

Satwa burung memiliki kedekatan yang erat dengan budaya dan perkembangan masyarakat di Indonesia, juga bangsa-bangsa timur pada umumnya. Bagi banyak komunitas, burung terafirmasi sebagai simbol budaya maupun simbol kekuatan magis. Dalam sejarahnya, pemeliharaan burung di Jawa hanya marak di kalangan bangsawan (priyayi) sebagai simbol status sosial. Kebangsawanan yang ditandai dengan ketenangan dan kewibawaan direpresentasikan oleh jenis-jenis burung tertentu, yang sangat populer adalah jenis burung perkutut (Geopelia striata) dan cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus). 

Pada masyarakat di Pulau Jawa, memelihara burung memiliki akar budaya di masa lalu. Dahulu, memelihara burung mencerminkan status sosial, simbol ketenangan dan keindahan, serta simbol kesempurnaan dalam hidup. Terdapat semacam semboyan bagi pria Jawa, hidup menjadi sempurna jika telah memiliki lima hal; harta (narpadha), rumah (wisma), istri (garwa), kendaraan/ tunggangan (turangga), dan hewan peliharaan (kukila) (Iskandar, 2014; Jepson, 2010; Supriyadi, 2008).

Burung dalam konteks tradisi masyarakat Jawa menjadi representasi dari kukila, yaitu satwa peliharaan. Sebenarnya satwa peliharaan dalam konteks ini bermakna luas tidak hanya burung saja, akan tetapi pemilihan kata kukila dalam bahasa Jawa lebih menunjuk pada burung sebagai satwa peliharaan. Di sisi lain, pada Masyarakat Jawa yang masih kuat mempertahankan tradisi priyayi (keraton), burung juga menjadi simbol status sosial tertentu. Antar status sosial yang mempunyai kegemaran memelihara burung, biasanya berkembang paguyuban-paguyuban penggemar burung yang menjadi media interaksi sosial antar penggemar burung, seperti misalnya paguyuban penggemar burung perkutut di beberapa daerah.

Dalam perkembangan sosio-kultural, pemaknaan terhadap pemeliharaan burung mulai berubah di masa modern. Pemeliharaan burung tidak lagi dilihat hanya sebagai simbol dan tidak lagi terbatas pada kalangan tertentu. Memelihara burung berkembang menjadi hobi bagi semua kalangan yang menyenangi estetika fisik dan suaranya (Jepson, 2010; Supriyadi, 2008). Faktor estetika menjadi daya tarik yang kemudian dikomodifikasi lewat lomba burung berkicau; babak baru evolusi perilaku memelihara burung. Kompetisi burung berkicau lalu menjadi salah satu kegiatan utama bagi pemelihara burung. Di banyak tempat digelar lomba berskala besar maupun kecil yang menarik banyak penggemar sekaligus kaum awam.

Pemeliharaan burung kicau di Indonesia

Berkembangnya hobi dan industri pemeliharaan burung telah menjadi isu konservasi serius. Sebuah studi pada tahun 2005 di Jawa dan Bali menyatakan ada 2,8 juta burung yang dipelihara dalam sangkar, dimana hampir setengahnya merupakan hasil tangkapan dari alam (Jepson and Ladle, 2005). Selang 13 tahun kemudian, studi terbaru memperkirakan terdapat sedikitnya 60 juta burung dipelihara dalam sangkar oleh hampir 12 juta rumah tangga di Pulau Jawa saja.

Untuk menggambarkan masifnya pemeliharaan burung dewasa ini, jumlah tersebut setara dengan satu dari dua rumah tangga memelihara minimal satu burung. Jenis yang paling umum dipelihara di antaranya lovebird, diikuti kenari, merpati, kucica hutan (murai batu), kucica kampung (kacer), kacamata (pleci), merbah cerukcuk (trucukan), cica-daun (cucak ijo), jalak-suren jawa , dan bentet kelabu (toed) (Marshall et al., 2020)

Jepson dan Ladle (2005) telah membuktikan bahwa 42,3% dari 2,8 juta burung yang dipelihara di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Bali adalah hasil tangkapan dari alam. Banyak di antara jenis-jenis tersebut merupakan burung terancam punah atau berstatus dilindungi. Sepuluh tahun berlalu, dugaan bahwa burung yang diperjualbelikan di kios dan pasar burung berasal dari perburuan masih valid. Survei Chng et al. (2015) mendapati sebanyak 19.000 ekor dari 206 jenis burung diperjualbelikan hanya dari tiga pasar burung utama di Jakarta. Mayoritas burung yang dijual diduga kuat berasal dari perburuan, mengingat 184 jenis (98%) merupakan jenis asli Indonesia, 51 jenis bahkan endemis Indonesia, dan 22 jenis merupakan burung yang dilindungi. Survei terbaru oleh Marshall et al. (2020) menyatakan terdapat paling sedikit 112 jenis burung yang dipelihara di kota-kota utama Pulau Jawa, 12% di antaranya terdaftar sebagai jenis mendekati terancam hingga terancam punah.

Salah satu pasar burung di Daerah Istimewa Yogyakarta (Foto: Burung Indonesia/Ferry Hasudungan)

Peran burung di alam

Secara ekologis peranan burung dapat kita lihat dari pemanfaatan burung sebagai media bio-monitoring terhadap lingkungan. Di beberapa negara maju, seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Jerman, pengembangan bio-monitoring dengan menggunakan burung sebagai media sudah mulai dikembangkan. Burung dijadikan sebagai media kontrol terhadap terjadinya pencemaran atau perubahan dari lingkungan dengan cara melihat ada tidaknya burung tersebut di lokasi tertentu. Atau dengan kata lain, keberadaan burung menjadi penanda terjadinya perubahan lingkungan atau tidak.

Beberapa bentuk pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring yang dikembangkan di beberapa negara maju antara lain melihat perubahan kualitas air, indikator pencemaran zat radioaktif dan indikator perubahan dalam stok ikan (Furness and Greenwood,1993). Tidak hanya di negara maju saja, peran burung sebagai bio-monitoring lingkungan sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia, yaitu sebagai predator alami beberapa jenis hama di lahan pertanian.

Beberapa jenis burung (elang, srigunting, sikatan, bentet, dan mandar) dikenal oleh petani lokal sebagai pemakan serangga yang sangat mengganggu kegiatan pertanian. Di samping itu, burung juga dapat berperan sebagai penyebar biji-bijian, dan mempercepat pelapukan kayu-kayu yang busuk untuk mempertahankan ekologi hutan (Mackinnon, 1984).

Bagi petani, burung bisa menjadi mitra kerja alami yang sangat berguna. Burung mengonsumsi beragam sumber makanan dalam jumlah besar dan kemampuannya untuk terbang memungkinkannya dapat menjangkau daerah yang luas. Burung pemakan serangga dapat menjadi pengendali hama yang efektif sehingga mampu membantu petani memelihara kestabilan hasil panen dan mengurangi kerugian akibat biaya operasional yang berlebihan untuk pestisida.

Bentet loreng Lanius tigrinus (Foto: Burung Indonesia/Jihad)

Penelitian di area perkebunan kopi contohnya, membuktikan bahwa kehadiran burung pemakan serangga dalam jumlah besar berkorelasi dengan minimnya kerusakan buah dan daun yang disebabkan oleh serangga penggerek buah (Greenberg et al., 2000). Johnson et al., (2009) juga menemukan bahwa perkebunan kopi yang menjaga kelimpahan burung pemakan serangga tetap tinggi, memiliki keuntungan hasil panen 4 juta rupiah lebih banyak dibanding perkebunan kopi minim burung pemakan serangga. Daftar panjang peran burung bagi pertanian bisa bertambah dengan dikenalnya beragam spesies burung pemakan nektar yang membantu dalam proses penyerbukan dan memungkinkan proses pembentukan buah terjadi (Whelan et al., 2015).

Contoh lain peran burung pada komoditas pertanian yaitu pada 30 kebun kopi kecil di Kosta Rika, para peneliti membandingkan bagaimana tanaman tumbuh ketika terisolasi dari burung dan lebah. Percobaan ini membantu para peneliti mengukur nilai ekonomi dari pengendalian hama, penyerbukan, dan efek gabungan pada produksi kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa burung dan lebah meningkatkan hasil dan bobot buah sebesar 4-11% dan mengurangi kutu perusak buah.

Para penulis studi memperkirakan kehilangan kehadiran burung maupun lebah akan menyebabkan kerugian hasil rata-rata sebesar 24,7%, yang setara dengan $1.066/ha (~16 jt rupiah/ha). Sekitar 35-40% tanaman potensial di seluruh dunia hancur oleh hama, seperti belalang gurun (Schistocerca gregaria) atau ulat grayak (Spodoptera exempta). Padahal di sisi lainnya, serangga tersebut menjadi camilan lezat bagi burung seperti burung cikrak daun (Phylloscopus trivirgatus), cikrak jawa (Phylloscopus grammiceps) atau cikrak kutub (Phylloscopus borealis). Oleh karenanya, banyak ahli menganalogikan bahwa merawat alam dan keragaman burung sama halnya dengan menjaga penghidupan kita sendiri.

Di Indonesia, salah satu jenis burung kicau yang berperan dalam pertanian kopi di Indonesia adalah burung kacamata atau pleci seperti kacamata hume (Zosterops auriventer). Burung ini juga merupakan spesies yang sangat sering di temukan di kebun-kebun kopi di dataran tinggi Gayo. Hasil survei keanekaragaman burung di perkebunan kopi yang dilaksanakan oleh Yayasan Leuser Internasional (YLI) menemukan bahwa burung kacamata adalah jenis burung yang ditemukan hampir di seluruh titik pengamatan di wilayah survei Kabupaten Bener Meriah. Survei yang melibatkan komunitas Aceh Birder dan Lembaga Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala menentukan 12 titik pengamatan yang berada dalam zona ketinggian dari 500 m s.d. 1800 meter di atas permukaan laut.

Fenomena meningkatnya populasi ulat bulu di Dataran Tinggi Gayo, salah satunya diperkirakan disebabkan berkurangnya pemangsa alaminya, yaitu keragaman hayati burung. Banyak dari mereka populasinya semakin tergerus akibat perburuan dan perdagangan. Observasi lapangan oleh YLI juga menemukan bahwa jenis burung kacamata banyak dicari untuk diperlombakan sebagai burung kicau. Bila tindakan ini terus dibiarkan, dapat diperkirakan akan berpengaruh kepada produksi dan keunikan cita rasa kopi arabika gayo.

Sejalan dengan pernyataan dan hasil penelitian YLI, petani dan pelaku usaha kopi gayo, Shafa A Fanur juga menyerukan kepada seluruh pihak agar tidak memburu burung kacamata, sebab bisa mempengaruhi kualitas kopi gayo. Burung kacamata menjadi salah satu spesies kunci berperan penting dalam menjaga kualitas kopi gayo dikarenakan burung ini memangsa hama, terutama hama penggerek buah kopi. Shafa mengungkapkan bahwa kehadiran burung Pleci dalam perkebunan kopi gayo memiliki dampak penting pada ekosistem pertanian kopi dan kualitas biji kopi sehingga keutuhan cita rasa kopi gayo tetap terjaga. Pada penelitian Withaningsih & Alham (2020) yang dilakukan di kebun kopi di Pangalengan Bandung juga menemukan keragaman burung dengan dominasi burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), cinenen pisang (Orthotomus sutorius), cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), cingcoang coklat (Brachypteryx leucophrys) yang merupakan burung kicau dan pemakan serangga. Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman jenis burung kicau ini dapat membantu pengendalian hama yang ada di perkebunan kopi.

Kondisi ideal dan peran burung di alam tersebut hanya memungkinkan tercapai jika populasi burung dan struktur komunitas burung di alam terjaga. Pada kondisi yang berbeda, burung dapat berdampak negatif bagi lingkungan apabila burung yang dipelihara terlepas akan menjadi spesies invasif di suatu lingkungan. Banyak dari burung yang dipelihara ini sengaja maupun tidak sengaja dilepas oleh pemilik. Banyak dari jenis burung yang terlepas ini tidak pada habitat aslinya dan dapat berpotensi mengganggu populasi burung lain yang alami hadir di suatu habitat dan merusak peran mereka di alam.

Selain bahaya spesies invasif, burung-burung ini juga banyak yang dikawin silang tidak sesuai dengan spesiesnya akan menjadi kehancuran genetik bagi spesies tersebut dan tidak bisa dilepasliarkan. Salah satu contoh kasus genetik pada burung yaitu penelitian genetik pada burung Seychelles Warblers (Acrocephalus sechellensis) yang menunjukkan bahwa perkawinan sedarah (inbreeding) tidak hanya mempercepat penuaan pada individu, namun juga keturunan-keturunannya.

Penelitian ini dilakukan tim ilmuwan dari University of East Anglia (UAE), Inggris. Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Molecular Ecology ini menunjukkan burung yang melakukan perkawinan sedarah memiliki telomer pendek. Telomernya semakin pendek saat kondisi stres, misalnya pasokan makanan berkurang di musim tertentu. “Hewan yang inbreeding lebih rentan terkena penyakit karena mereka tidak memiliki banyak variasi dalam gennya,” kata Bebbington.

*Telomer adalah bagian paling ujung dari kromosom yang terdiri dari susunan DNA berulang (tandem repeat).

Teks oleh: Ivanna Febrissa dan Achmad Ridha Junaid

id_ID