Skip to content Skip to footer

Eco Trip: Petulangan Konservasi di Pulau Pramuka

  • Eco Trip merupakan upaya penyadartahuan publik mengenai isu pelestarian keanekaragaman hayati dan  habitatnya yang dilakukan Burung Indonesia.
  • Teluk Jakarta merupakan salah satu lokasi penting bagi burung-burung laut bermigrasi.
  • Pencemaran mikroplastik di perairan, khususnya di Teluk Jakarta, merupakan salah satu yang tertinggi dengan rerata 7,5 hingga 10 partikel per meter kubik.
  • Pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu menjadi wilayah yang paling rawan bencana akibat dari krisis iklim global, kerusakan terumbu karang, ancaman isu sampah plastik, serta penangkapan ikan secara tidak berkelanjutan.

Pukul 05.00 WIB di akhir pekan pertama di bulan Agustus, kantor Burung Indonesia di Kota Bogor tampak ramai. Beberapa orang sudah bersiap dengan membopong tas di punggung dan wajah yang bersemangat untuk memulai hari yang panjang. Hari itu, kegiatan Eco Trip akan segera dimulai. Udara dingin nan sejuk memberangkatkan 30 orang peserta Eco Trip untuk mengutara ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Beberapa orang membawa kantuknya selama perjalanan menuju dermaga di tepian Teluk Jakarta. Sebagian lagi saling berbincang mengakrabkan diri karena dalam dua hari ke depan mereka akan menjadi teman seperjalanan.

Tujuan pertama kami adalah Dermaga Tanjung Pasir. Secara administratif, dermaga ini berada di wilayah Kabupaten Tangerang. Sementara laut lepas di depan kami adalah wilayah DKI Jakarta. Sesampai di dermaga, kapal yang akan kami tumpangi sudah bersandar dan siap untuk mengantarkan peserta menuju Pulau Pramuka. Tantangan pertama harus dihadapi. Pagi itu kondisi perairan di sekitar dermaga sedang surut. Kapten dan anak buah kapal berusaha begitu kuat agar kapal dapat menggeser haluan menuju ke utara. Butuh waktu sekitar setengah jam agar kapal bisa bergerak meninggalkan dermaga.

KM Rahayu, begitu sang kapten menamakannya. Kapal yang biasa membawa para pengamat dan peneliti burung di sekitar Teluk Jakarta. KM Rahayu bergerak di cuaca terik dengan keadaan ombak yang cukup tenang. Di tengah perjalanan, kapal sedikit merapat ke lokasi tonggakan burung cikalang christmas. “Sero” begitu biasanya para nelayan di Tanjung Pasir menyebutnya. Binokular dibagikan, dan seketika peserta berdecak kagum melihat cikalang christmas dengan sangat dekat. Mereka segera mengabadikan momen melihat cikalang christmas yang tengah menari-nari di udara maupun yang bertengger di sero. Bagi sebagian besar peserta, momen ini menjadi pengalaman pertama mereka melihat burung migran dari jarak yang sangat sangat dekat. Semesta merestui. Kawanan cikalang menyambut kami dengan ramah.

Cikalang christmas bermigrasi ke wilayah Indonesia dan Malaysia saat musim berkembang biak selesai. Spesies ini hanya berkembang biak di Pulau Christmas, Australia. Kualitas habitatnya semakin menurun, tidak hanya di Pulau Christmas, tetapi juga di wilayah bermigrasinya seperti di Teluk Jakarta. Oleh karena itu, Badan Konservasi Dunia menyatakan cikalang christmas sebagai spesies terancam punah dengan status Rentan (Vulnerable). Status ini mengingatkan kepada kita bahwa beberapa langkah lagi spesies burung laut yang elegan ini dapat terjerembab ke zona kepunahan jika tidak tidak ditangani oleh berbagai pihak. Di Indonesia, spesies ini masuk dalam daftar satwa yang telah dilindungi oleh peraturan pemerintah.

Cikalang christmas di Teluk Jakarta (Foto: Burung Indonesia)

Ombak laut akhirnya membawa kapal dan semua peserta sampai ke Pulau Pramuka. Birunya lautan langsung menyambut dengan pemandangan yang memanjakan mata. Tanpa berlama-lama, peserta diarahkan bergegas menuju penginapan dan langsung dijamu dengan makan siang. Agenda utama Eco Trip diawali dengan diskusi mengenai isu mikroplastik di Teluk Jakarta. Diskusi diisi oleh tiga pemateri, yakni Agus Setyawan dari Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Tatang Mitra Setia dari Smiling Coral Indonesia (SCI) dan Ria Saryanthi dari Burung Indonesia.

Permasalahan sampah plastik—khususnya di kota-kota besar di Indonesia—merupakan salah satu tantangan yang perlu segera untuk diatasi. Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas yang pesat mengakibatkan peningkatan jumlah sampah plastik disertai permasalahannya. Diperkirakan rata-rata hanya sekira 40 hingga 60 persen sampah yang dapat terangkut ke tempat pembuangan akhir. Sisanya berakhir di laut dan menumpuk di kawasan pesisir atau pulau.

Plastik yang hanyut dan mengapung di laut pada jangka waktu yang lama dapat terurai menjadi mikroplastik. Pencemaran mikroplastik di perairan, khususnya di Teluk Jakarta, merupakan salah satu yang tertinggi dengan rerata 7,5 hingga 10 partikel per meter kubik. Plastik dan mikroplastik ini dapat mengancam setidaknya 800 spesies laut. Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity) pada 2016. Sebanyak 40 persennya adalah mamalia laut dan 44 persen lainnya spesies burung laut. Tidak hanya mengancam spesies tapi juga ekosistem dan manusia. 

Sesi diskusi berjalan secara interaktif. Para peserta aktif menggali pengetahuan para pemateri. Rasa penasaran mereka pun tergali dan juga terjawab. Setelah itu, peserta bergerak menuju Rumah Literasi Hijau. Komar selaku Manajer Pemasaran Rumah Literasi Hijau menyambut kedatangan peserta, serta menyampaikan informasi terkait pengelolaan sampah plastik yang mereka lakukan mulai dari bahan, alat dan produk hasil olahan yang siap digunakan.

Di sini, peserta mendapatkan pengetahuan mengenai pengelolaan dan pengolahan sampah. Rumah Literasi Hijau menggunakan teknologi mesin yang dapat mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak melalui proses pirolisis. Ini menjadi salah satu solusi yang mereka tawarkan untuk mengatasi permasalahan sampah plastik di wilayah pesisir dan kepulauan, khususnya di Pulau Pramuka.

Tidak terasa sang lembayung senja sudah mulai mengukir warna indahnya di langit Pulau Pramuka yang sekaligus menjadi pertanda untuk melanjutkan agenda berikutnya. Peserta diarahkan untuk berjalan menuju pesisir pantai untuk melakukan pelespasliaran tukik. Beberapa tukik dilepaskan sembari menghantarkan matahari bertukar peran dengan sinaran bulan. Pelespasliaran tukik menjadi agenda penutup agenda utama Eco Trip hari pertama.

Tiba pada pukul 21.00 WIB, bara api untuk memanggang ikan mulai menyapa. Pada kesempatan ini juga peserta diberikan ruang untuk memperkenalkan diri satu sama lain. Santapan habis dan hari semakin larut, semua peserta kembali beristirahat untuk mengumpulkan energi agar dapat melanjutkan kegiatan di hari esok.

Sebelum matahari mulai memperlihatkan sinarnya, langkah kaki para peserta sudah menapak, dibekali dengan binokular yang  dibagikan secara merata. Tepat pada pukul 06.00 WIB peserta melakukan pengamatan burung dengan menyisir beberapa lokasi di sekitar Pulau Pramuka. Tak terasa satu setengah jam terpakai untuk mengamati burung-burung.  Ada tujuh spesies burung yang teramati, di antaranya kekep babi (Artamus leucoryn), remetuk laut (Gerygone sulphurea), kokokan laut (Butorides striata), layang-layang batu (Hirundo javanica), cekakak sungai (Todiramphus chloris), tekukur biasa (Spilopelia chinensis), dara-laut kecil (Sternula albifrons), dan merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier).

Di hari kedua juga dilakukan pelespasliaran tukik dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan kemarin. Pelepasan tukik dilakukan di sekitar area mangrove yang mengarah langsung ke laut lepas. Kemudian dilanjutkan dengan penanaman terumbu karang yang dipandu oleh Herman dari SCI. Setiap peserta diberikan kesempatan menanam koral di media yang telah disiapkan.

SCI adalah organisasi masyarakat sipil yang aktif melakukan aktivitas konservasi laut, riset, dan pengembangan ekowisata di Pulau Pramuka. Menurut Herman, wilayah pesisir di Teluk Jakarta rupanya masih didominasi oleh aktivitas antropogenik yang mengancam sumber daya pesisir dan laut. Pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu menjadi wilayah yang paling rawan bencana akibat dari krisis iklim global, kerusakan terumbu karang, ancaman isu sampah plastik, serta penangkapan ikan secara tidak berkelanjutan yang mengancam ekosistem bawah laut. Kegiatan transplantasi terumbu karang menjadi salah satu cara untuk mengatasi ancaman-ancaman tersebut.

Tidak terasa sang mentari hampir berada di atas kepala. Peserta bersiap untuk pulang. Sebelum meninggalkan penginapan, peserta disuguhkan makan siang sebagai modal untuk menerjang gelombang lautan selama tiga jam perjalanan untuk sampai ke Dermaga Tanjung Pasir. Eco Trip diakhiri dengan kunjungan ke Pusat Sanctuary Penyu Taman Nasional Kepulauan Seribu. Mereka diberikan pemahaman mengenai jenis penyu yang diselamatkan. Penyu sisik dan penyu hijau merupakan jenis penyu yang dapat ditemui di Pulau Pramuka. Peserta juga dapat berinteraksi langsung dengan penyu.

Mengingat gelombang ombak yang kian besar menjelang sore hari dan rangkaian kegiatan Eco Trip yang sudah selesai, maka peserta segera kembali ke Tanjung Pasir. Kurang lebih selama tiga jam kapal berlayar di laut dan akhirnya dapat bersandar kembali di dermaga. Perjalanan pulang dilanjutkan dengan bus yang mengantarkan peserta ke titik kumpul awal.

Sampai berjumpa di petualangan berikutnya!

id_ID