Skip to content Skip to footer

Mangrove: Berbagi Manfaat bagi Manusia dan Hewan

Selain memiliki kawasan hutan yang sangat luas, Indonesia juga memiliki kawasan mangrove sekitar 3,31 juta hektare. Hutan mangrove seluas itu diperkirakan dapat menyerap carbon sebanyak 33 miliar ton. Hal ini menjadi sedikit angin segar di tengah perubahan iklim yang semakin menjadi-jadi. Selain dapat memiliki manfaat dalam skala nasional, keberadaan hutan mangrove juga memiliki manfaat secara lokal bagi masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.

Bagi masyarakat yang ada di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo; hutan mangrove menjadi tempat yang kaya akan manfaat. Pada kecamatan itu, terdapat tiga desa yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari menangkap ikan. Di daerah ini, etnis yang dominan tinggal di sini adalah Bajo, Bugis, Gorontalo, Kaili, dan Sangihe.

Selain untuk dimanfaatkan untuk memutar roda perekonomian setempat, hasil tangkapan tersebut juga dikonsumsi secara pribadi. Ikan, kerang, teripang, udang, dan kepiting bakau tak luput dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Bahkan, mereka juga turut memanfaatkan kayu, buah-buahan, dan tanaman obat untuk digunakan sehari-hari. Menurut masyarakat setempat, ada beberapa jenis mangrove yang digunakan sebagai pembersih mata, sebagai obat muntaber, obat untuk anak dan diolah untuk bedak bagi perempuan yang akan menikah.

Kondisi mangrove yang semakin baik membuat masyarakat setempat memanfaatkan buahnya untuk diolah ke berbagai jenis makanan seperti dodol, kue, sirup, dan stick. Sementara untuk kebutuhan nelayan, kulit mangrove dijadikan pewarna pukat dan penghilang bau amis pada ikan. Kawasan tersebut juga memiliki potensi besar untuk mengelola kawasan mangrove menjadi wisata edukasi mangrove, budidaya ikan dengan metode Karamba Jaring Apung. Bahkan, ada kawasan tertentu yang dijadikan sebagai tempat prosesi adat Tibba Anca (Upacara adat Tolak Bala) seperti di Dusun Mangrove.

Foto udara permukiman warga yang berdampingan dengan hutan mangrove (Foto: Burung Indonesia/Made Chandra)

Kawasan hutan mangrove yang ada di tempat itu juga menjadi habiat bagi berbagai keanekaragaman hayati, salah satunya burung. Menurut survei yang dilakukan oleh Burung Indonesia (2023), terdapat sekira 32 spesies burung di kawasan tersebut. Di antaranya adalah cekakak sungai (Todiramphus chloris), cangak merah (Ardea purpurea), blekok sawah (Ardeola speciosa), kekep babi (Artamus leucorynchus), gagak kampung (Corvus macrorhynchos), pergam laut(Ducula bicolor) dan punai gading (Treron vernans). Keberadaan burung-burung yang banyak di kawasan ini didukung jumlah pakan yang cukup bagi mereka, seperti kepiting, ikan, kerang, udang, dan teripang.

Keberadaan burung-burung di kawasan itu juga memiliki dampak langsung dan tidak langsung bagi lingkungan sekitar. Keberadaan burung di sana berperan sebagai pengendali hama dan juga peningkatan produktivitas lahan. Peningkatan lahan disebabkan oleh hasil pencernaan burung yang memakan hewan laut seperti ikan, udang, dan lain-lain.

Masyarakat setempat menganggap keberadaan beberapa burung merupakan pertanda datangnya fenomenan alam. Seperti munculnya burung teterra (Bahasa Bajo) menjadi pertanda bahwa ikan cakalang akan banyak muncul di Perairan Torosiaje. Kemudian ada burung elang hitam pertanda bahwa ada ikan tuna dan lumba-lumba. Kemudian ada burung pergam laut atau dalam bahasa setempat disebut dengan poteang merupakan pertanda bahwa wilayah perairan Teluk Tomini akan memasuki musim Angin Barat.

Tumbuhan mangrove spesies Xylocarpus sp yang ekstraknya bermanfaat untuk bahan kosmetik kulit. (Foto: Burung Indonesia/Made Chandra)

Meski memiliki nilai keragaman burung dan ekonomi yang tinggi, kawasan mangrove tersebut juga memiliki ancaman di depan mata. Perusakan hutan mangrove secara progresif dan kerusakan yang meningkat akibat perubahan iklim mengancam penghidupan alam dan ekonomi banyak masyarakat pesisir di Teluk Tomini. Hal tersebut diperburuk dengan minimnya integrasi antara inisiatif lokal untuk perlindungan hutan mangrove dengan pihak eksternal.

Selain itu, kelestarian mangrove turut terancam akibat alih fungsi lahan menjadi pertambakan. Aktivitas ini dilakukan oleh pihak yang berasal dari luar desa dan kampung. Akibatnya, keberadaan biota seperti kepiting bakau dan teripang semakin berkurang populasinya.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Gorontalo, area mangrove di provinsi tersebut mengalami kerusakan mencapai 67 persen. Kerusakan ini umumnya diakibatkan alih fungsi lahan menjadi pertambakan. Hal ini sangat disayangkan, karena Kabupaten Pohuwato merupakan daerah yang memiliki kawasan mangrove yang paling luas di Provinsi Gorontalo.

Pada dua dekake lalu, kawasan hutan mangrove memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, seperti kepiting bakau, teripang, udang, ikan somasi (kakap bangkaw), ikan baronang, ikan kerapu, ikan belanak, ikan kuasi (bahasa Bajo) masih sangat melimpah. Demikian juga dengan potensi keragaman spesies burung pada 20 tahun lalu juga sangat kaya. Hal ini turut didukung oleh kondisi mangrove yang masih bagus dan perairan yang belum tercemar oleh adanya pembukaan tambak.

Maka dari itu, masyarakat setempat terus berupaya untuk melakukan upaya konservasi dan restorasi kawasan mangrove agar kelestariannya tetap terjaga. Upaya ini juga sebagai bentuk antisipasi perubahan iklim yang akan mengancam penghidupan alam dan ekonomi banyak masyarakat pesisir di Teluk Tomini.

id_ID