Status Burung di Indonesia 2024
Keanekaragaman burung di suatu tempat bersifat dinamis. Perubahan kondisi lingkungan dan penambahan informasi baru menyebabkan pemahaman kita tentang keanekaragaman burung terus berkembang. Pada tahun 2024, kita mendapati keanekaragaman burung di Indonesia juga terus mengalami perubahan. Sementara itu, mendokumentasikan perubahan ini menjadi penting karena dapat menjadi landasan utama dalam menentukan prioritas konservasi.
Burung Indonesia kembali merangkum seluruh informasi yang mungkin didapat dari berbagai sumber tentang perubahan keanekaragaman burung di Indonesia dalam Status Burung di Indonesia. Status Burung di Indonesia merupakan ringkasan informasi terbaru seluruh spesies burung yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Informasi yang terdapat di Status Burung di Indonesia merupakan hasil penelusuran dari berbagai sumber, seperti publikasi ilmiah, catatan tervalidasi pengamat burung, hasil diskusi dengan ahli di lembaga penelitian dan universitas. Kegiatan diskusi yang dilakukan melibatkan ahli konservasi, taksonomi, dan ekologi. Landasan taksonomi utama yang digunakan dalam Status Burung di Indonesia ini mengikuti Handbook of the Birds of the World (HBW) dan BirdLife International (HBW & BirdLife International, 2023).
Setiap tahun sejak 2014, Burung Indonesia memperbarui data mengenai status burung di Indonesia yang berisi jumlah spesies, perubahan taksonomi, endemisitas dan status keterancaman. Selain untuk menjadi acuan praktis dalam melakukan program kerja pelestarian burung dan habitatnya, data ini juga dapat diakses oleh publik secara luas untuk dirujuk sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Perubahan Keanekaragaman Burung di Indonesia
Penelusuran sepanjang tahun 2023 mendapati bahwa kekayaan spesies burung di Indonesia pada awal 2024 mencapai 1836 spesies. Jumlah ini berarti berselisih sepuluh spesies lebih banyak dari pada awal tahun sebelumnya (1826 spesies pada awal 2023). Perubahan kekayaan spesies ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni utamanya oleh pemecahan taksonomi (taxonomic split) dan catatan baru tentang spesies burung yang tersebar di Indonesia. Selain itu, terdapat juga penggabungan taksonomi yang berdampak pada penyusutan jumlah spesies.
Tidak kurang dari delapan spesies burung mengalami pemecahan taksonomi. Pemecahan ini menghasilkan sembilan spesies baru sekaligus menambah kekayaan spesies burung di Indonesia. Sementara itu, lima spesies lainnya baru diketahui pertama kali tersebar di Indonesia.
Dengan demikian, terjadi penambahan sebanyak 14 spesies dalam daftar. Adapun daftar spesies yang bertambah tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Daftar spesies yang mengalami pemecahan taksonomi dan catatan perjumpaan burung baru untuk Indonesia.
Nama Latin | Nama Lokal | Catatan |
---|---|---|
Larus genei | Camar paruh-ramping | Catatan distribusi baru di Indonesia; Tercatat individu yang bermigrasi ke Sumatra |
Macropygia tenuirostris | Uncal kalimantan | Catatan distribusi baru di Indonesia; Tercatat kehadirannya di Kalimantan Tengah dari data pengamatan eBird |
Pterodroma neglecta | Petrel kermadec | Catatan distribusi baru di Indonesia; Tercatat kehadirannya di Papua dari data pengamatan eBird |
Ardenna grisea | Penggunting-laut hitam | Catatan distribusi baru di Indonesia; Tercatat kehadirannya di Papua dari data pengamatan eBird |
Terpsiphone paradisi | Seriwang india | Catatan distribusi baru di Indonesia; Tercatat kehadirannya di Aceh dari data pengamatan eBird |
Charadrius atrifrons | Cerek-pasir tibet | Charadrius mongolus dan Charadrius atrifron sebelumnya disamakan sebagai Charadrius mongolus (HBW dan BirdLife International, 2022), namun Charadrius atrifron dipecah berdasarkan karakter bulu, perbedaan vokal, dan perbedaan genetik yang dalam (Livezey, 2010; Wei et al., 2022) |
Macropygia cinnamomea | Uncal enggano | Macropygia emiliana dan Macropygia cinnamomea sebelumnya dikelompokkan sebagai Macropygia emiliana (del Hoyo & Collar, 2014) namun telah dipisahkan berdasarkan karakter morfologi dan vokalisasi (Ng et al., 2016) |
Ceyx rufidorsa | Udang punggung-merah | Ceyx erithaca dan Ceyx rufidorsa sebelumnya disamakan sebagai Ceyx erithaca (del Hoyo dan Collar 2014) meskipun sebelumnya terpecah (misalnya Sibley & Monroe, 1990). Lim et al. (2010) memberikan alasan yang meyakinkan mengenai diferensiasi genetik pada tingkat spesies |
Oriolus consobrinus | Kepudang ventrilokuis | Oriolus xanthonotus dan Oriolus consobrius sebelumnya dikelompokkan sebagai Oriolus xanthonotus (HBW & BirdLife International, 2022) namun dipecah berdasarkan analisis filogenomik, bioakustik, biometrik, dan morfologi (Rheindt et al., 2022) |
Zosterops dehaani | Kacamata morotai | Zosterops dehaani dipisahkan dari Zosterops atriceps berdasarkan morfologi, bioakustik, dan ekologi (Rheindt & Eaton, 2018) |
Pomatorhinus bornensis | Cica-kopi melayu | Pomatorhinus montanus dan Pomatorhinus bornensis sebelumnya dikelompokkan sebagai Pomatorhinus montanus (HBW & BirdLife International, 2022) namun dipisahkan berdasarkan perbedaan karakter bulu, vokalisasi, habitat/ketinggian, dan perilaku (Eaton et al., 2016) |
Ninox rotiensis | Punggok rote | Ninox boobook, Ninox rotiensis, Ninox fusca dan Ninox plesseni sebelumnya dikelompokkan dalam Ninox boobook (del Hoyo & Collar, 2014) namun dipisahkan berdasarkan perbedaan genetik dan perbedaan vokalisasi (Gwee et al., 2017) |
Ninox fusca | Punggok timor | s.d.a |
Ninox plesseni | Punggok alor | s.d.a |
Dari tabel di atas, diketahui juga terdapat lima spesies burung yang merupakan catatan baru untuk wilayah Indonesia, meliputi camar paruh-ramping (Larus genei), uncal kalimantan (Macropygia tenuirostris), petrel kermadec (Pterodroma neglecta), penggunting-laut hitam (Ardenna grisea), dan seriwang india (Terpsiphone paradisi). Perjumpaan camar paruh-ramping diketahui dari observasi pengamat burung di Sumatra yang memantau kehadirannya yang sedang bermigrasi di wilayah Provinsi Sumatra Selatan (Iqbal et al., 2023). Sementara catatan kehadiran empat spesies lainnya di Indonesia didapatkan dari penggalian data hasil observasi lapangan yang dikumpulkan oleh para pengamat burung di berbagai daerah ke dalam platform sains warga eBird. Penggunaan platform sains warga seperti eBird kian hari kian diminati, karena menawarkan kemudahan dalam proses pencatatan dan mendokumentasikan hasil pengamatan, serta mempermudah pertukaran informasi antar pengamat. Pada sisi lain, keterlibatan warga dalam pengumpulan data, memungkinkan keragaman jenis burung di Indonesia dapat dipantau secara lebih inklusif dan sistematis. Oleh karena itu, platform sains warga dan ilmuwan warga (citizen scientist) saat ini juga memainkan peran penting dalam menyediakan data dan informasi untuk pelestarian dan pengelolaan habitat burung di Indonesia.
Meskipun begitu, daftar panjang spesies burung di Indonesia juga mengalami penyusutan akibat penggabungan taksonomi (taxonomic lump). Sebanyak sembilan spesies burung di Indonesia mengalami penggabungan menjadi lima spesies. Empat takson burung dikembalikan menjadi subspesies atau ras dari spesies burung yang telah ada sebelumnya, sehingga terjadi pengurangan jumlah spesies sebanyak empat dari daftar sebelumnya. Daftar burung yang mengalami penggabungan taksonomi yaitu sebagai berikut.
Tabel 2. Daftar spesies yang mengalami penggabungan taksonomi.
Nama Latin | Nama Lokal | Catatan |
---|---|---|
Ducula pinon | Pergam pinon | Ducula salvadorii (distribusi di Pulau D’Entrecasteaux dan Kepulauan Louisiade) kembali menjadi subspesies D. Pinon. Penggabungan taksonomi ini tidak berdampak pada pengurangan jumlah spesies di Indonesia karena Ducula salvadorii tidak tersebar di Indonesia sejak awal |
Ramphiculus fischeri | Walik kuping-merah | Ramphiculus fischeri sebelumnya dipecah menjadi R. fischeri dan R. meridionalis (del Hoyo & Collar, 2014), sebelumnya ditempatkan dalam genus Ptilinopus dan disatukan sebagai Ramphiculus fischeri (HBW & BirdLife International, 2023) |
Actenoides princeps | Cekakak-hutan dada-sisik | Actenoides regalis dikembalikan sebagai subspesies dari A. princeps mengikuti (Sibley & Monroe, 1990) karena ras regalis tidak memiliki catatan perjumpaan di alam, hanya dua spesimen yang diketahui dan kemungkinan merupakan variasi substansial yang tidak diketahui dalam A. princeps (HBW & BirdLife International, 2023) |
Eumyias indigo | Sikatan ninon | Eumyias indigo dan Eumyias ruficrissa sebelumnya dipisahkan (del Hoyo & Collar, 2016) namun memiliki vokalisasi serupa (Boesman, 2016) dan pemeriksaan ulang bahan spesimen menunjukkan bahwa perbedaannya mungkin tidak terlalu mencolok dibandingkan perkiraan sebelumnya. |
Tyto novaehollandiae | Serak australia | Tyto almae (del Hoyo & Collar, 2014) sebelumnya dipecah dari T. novaehollandiae mengikuti Sibley & Monroe (1990), namun penilaian genetik menunjukkan T. almae tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan T. novaehollandiae (Jønsson et al., 2013; Uva et al., 2018) |
Status Burung Endemis Indonesia
Burung endemis Indonesia didefinisikan sebagai spesies burung yang hanya tersebar di dalam batas wilayah administrasi Indonesia. Adanya pemecahan taksonomi yang terjadi turut memengaruhi jumlah dan komposisi spesies burung endemis Indonesia. Dari 15 spesies yang baru masuk ke dalam daftar pada periode ini, empat di antaranya tersebar terbatas di wilayah Indonesia. Dengan begitu, total kekayaan spesies burung endemis Indonesia pada 2024 yaitu sebanyak 542 spesies. Jumlah ini semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara dengan kekayaan spesies burung endemis terbanyak di dunia. Keempat spesies tersebut dan persebarannya dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 3. Spesies endemis Indonesia baru beserta wilayah sebarannya.
Nama Latin | Nama Lokal | Persebaran |
---|---|---|
Macropygia cinnamomea | Uncal enggano | Endemis Pulau Enggano (Bengkulu) |
Ninox rotiensis | Punggok rote | Endemis Pulau Rote (NTT) |
Ninox plesseni | Punggok alor | Endemis Pulau Alor (NTT) dan beberapa pulau sekitarnya, seperti Pantar dan Atauro |
Zosterops dehaani | Kacamata morotai | Endemis Pulau Morotai (Maluku Utara) |
Indonesia dikenal memiliki tujuh wilayah avifauna dimana masing-masing wilayah memiliki keunikan keragaman spesies burung (Sukmantoro et al., 2007). Spesies endemis juga tersebar relatif tidak merata antar wilayah avifauna tersebut. Sebagian besar (169 spesies, 31%) spesies endemis Indonesia tersebar di Sulawesi, diikuti Maluku (23%), dan Nusa Tenggara (20%). Hal ini juga menjadikan region Wallacea yang melingkupi ketiga wilayah tersebut sebagai hotspot spesies burung endemis Indonesia. Kalimantan menjadi wilayah sebaran spesies endemis paling sedikit (6 spesies, 1%) dikarenakan sebagian besar spesies burung endemis pulau ini juga tersebar di wilayah Malaysia.
Gambar 1. Jumlah spesies burung endemis Indonesia berdasarkan sebaran wilayah avifauna
Status Keterancaman Burung di Indonesia
Gambar 2. Kategori status keterancaman berdasarkan Daftar Merah IUCN
Terjadi perubahan status keterancaman spesies burung yang cukup banyak pada periode ini. Evaluasi tahunan Daftar Merah IUCN oleh BirdLife International menunjukkan bahwa terdapat perubahan status keterancaman pada 62 spesies burung di Indonesia (Gambar 3). Perubahan tersebut meliputi peningkatan status delapan spesies dari kategori keterancaman rendah ke kategori dengan risiko keterancaman yang lebih tinggi. Sebaliknya, 40 spesies lainnya ditempatkan dalam kategori keterancaman lebih rendah dari sebelumnya. Selain itu, 14 spesies lainnya baru berhasil dievaluasi dan ditetapkan kategori keterancamannya, termasuk di dalamnya sembilan spesies baru dari hasil pemecahan taksonomi.
Gambar 3. Ilustrasi perubahan jumlah spesies burung berdasarkan Daftar Merah IUCN 2023 dan 2024
Dari delapan spesies yang mengalami peningkatan status keterancaman, empat spesies dievaluasi sebagai spesies terancam punah secara global. Tiga spesies dalam kategori Rentan (VU) yaitu paruh-kodok besar (Batrachostomus auritus), luntur tunggir-coklat (Harpactes orrhophaeus), dan cica-kopi jawa (Pomatorhinus montanus), serta satu spesies dalam kategori Genting (EN) yaitu cerek-pasir mongolia (Charadrius mongolus). Berdasarkan IUCN (2023), ancaman kerusakan dan degradasi hutan menyebabkan populasi paruh-kodok besar dan luntur tunggir-coklat menjadi menurun signifikan. Sementara populasi cica-kopi jawa terdampak signifikan oleh ancaman penangkapan untuk diperdagangkan dan dipelihara. Sementara itu, cerek-pasir mongolia mendapati ancaman yang cukup beragam di sepanjang proses bermigrasinya, misalnya ancaman predasi dan reklamasi di tempat perkembangbiakannya serta degradasi habitat di lokasi bermigrasinya.
Sementara itu, 40 spesies diturunkan ke dalam kategori keterancaman yang lebih rendah, umumnya ke dalam kategori Mendekati Terancam Punah (NT) dan Risiko Rendah (LC) (Gambar 3). Dari evaluasi IUCN (2023), secara umum penurunan status spesies tersebut disebabkan oleh penambahan informasi dan pemahaman baru tentang populasi dan tingkat ancamannya. Beberapa spesies diketahui memiliki perkiraan ukuran populasi yang lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya sehingga tidak mencapai ambang batas kategori keterancaman yang lebih tinggi.
Sebanyak 14 spesies lainnya baru dievaluasi pada tahun ini. Spesies robin salju (Petroica archboldi), cerek muka-putih (Charadrius dealbatus), atoku bintang (Aegotheles tatei), dan atoku kepala-burung (Aegotheles affinis) sebelumnya masih dikategorikan kurang data (DD). Namun dengan penambahan informasi baru tentang sebaran dan populasinya, kini keempat spesies tersebut dievaluasi dalam kategori NT, LC, LC, dan NT secara berturut-turut. Kacamata wangi-wangi (Zosterops paruhbesar) merupakan burung yang baru dievaluasi status keterancamannya pada tahun ini, meskipun telah dikenal oleh dunia ilmiah sejak dideskripsikan pada 2022 lalu. Ukuran populasi yang relatif kecil dan hanya tersebar di Pulau Wangi-Wangi, serta ancaman tinggi akibat kehilangan habitat dan juga perburuan membuat spesies ini langsung ditetapkan dalam kategori Genting (EN) (IUCN, 2023).
Penutup
Keanekaragaman burung di Indonesia berubah dengan sangat dinamis dari tahun ke tahun. Revisi taksonomi berkontribusi besar pada penambahan keanekaragaman spesies burung di Indonesia dengan mengungkap taksa-taksa burung yang sebelumnya masih ‘tersembunyi’ di dalam klasifikasi spesies yang lebih kompleks. Kontribusi ilmuwan warga melalui beragam platform sains warga juga menjadi semakin bisa diperhitungkan. Data yang dikumpulkan secara sukarela oleh ilmuwan warga dapat menjadi salah satu rujukan valid dalam memantau keragaman burung di Indonesia. Hal ini juga yang mendorong Burung Indonesia mengembangkan platform sains warga AMATISEKITAR untuk membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin berkontribusi pada perbaruan data dan informasi tentang keragaman burung.
Kompilasi data dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan keanekaragaman burung juga turut berimplikasi pada penambahan jumlah spesies burung endemis Indonesia. Hasil tersebut juga menunjukkan Wallacea sebagai wilayah yang menjadi sebaran utama dari spesies endemis. Hal ini secara tidak langsung telah terprediksi sebelumnya, mengingat sejarah biogeografi dari pulau-pulau di Wallacea yang begitu unik sehingga memiliki laju spesiasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya.
Terlepas dari pengetahuan tentang keragaman burung Indonesia yang semakin maju, masih banyak misteri tentang biologi dan sejarah hidup spesies burung yang belum diketahui. Minimnya informasi tersebut juga menyebabkan penilaian terhadap status keterancaman juga semakin sulit untuk ditentukan. Masih dibutuhkan lebih banyak lagi penelitian, pengamatan, dan ekspedisi di masa-masa yang akan datang untuk mengisi kesenjangan pengetahuan tersebut. Pemutakhiran informasi tersebut pada akhirnya juga bertujuan untuk mendukung upaya konservasi burung yang lebih efektif agar tercapai kelestarian keragaman burung di Indonesia.
Referensi:
Boesman, P. (2016). Notes on avian vocalizations of proposed or potential taxonomic splits. Multiple species files.
del Hoyo, J., & Collar, N. J. (2014). HBW and BirdLife International Illustrated Checklist of the Birds of the World, 1: Non-Passerines. Lynx Edicions.
del Hoyo, J., & Collar, N. J. (2016). HBW and BirdLife International Illustrated Checklist of the Birds of the World, 2: Passerines. Lynx Edicions.
Eaton, J. A., Balen, B. van, Brickle, N. W., & Rheindt, F. E. (2016). Birds of the Indonesian Archipelago. Greater Sundas and Wallacea. Lynx Edicions.
Gwee, C. Y., Christidis, L., Eaton, J. A., Norman, J. A., Trainor, C. R., Verbelen, P., & Rheindt, F. E. (2017). Bioacoustic and multi-locus DNA data of Ninox owls support high incidence of extinction and recolonisation on small, low-lying islands across Wallacea. Molecular Phylogenetics and Evolution, 109, 246–258. https://doi.org/10.1016/j.ympev.2016.12.024
HBW, & BirdLife International. (2022). Handbook of the Birds of the World and BirdLife International Digital Checklist of the Birds of the World. Version 6. BirdLife International. http://datazone.birdlife.org/userfiles/file/Species/Taxonomy/HBW-BirdLife_Checklist_v8_Dec23.zip
HBW, & BirdLife International. (2023). Handbook of the Birds of the World and BirdLife International Digital Checklist of the Birds of the World. Version 8. BirdLife International. http://datazone.birdlife.org/userfiles/file/Species/Taxonomy/HBW-BirdLife_Checklist_v8_Dec23.zip
Iqbal, M., Absori, A., Prabowo, A., Setiawan, A., Handoko, D., Mulyani, Y. A., Hadiwijaya, S., Saputro, Y. D., Yustian, I., & Zulkifli, H. (2023). Slender-Billed Gull Chroicocephalus Genei, a New Bird for Indonesia. Marine Ornithology, 51(2), 179–180.
IUCN. (2023). The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2020-3. https://www.iucnredlist.org
Jønsson, K. A., Poulsen, M. K., Haryoko, T., Reeve, A. H., & Fabre, P.-H. (2013). A new species of masked-owl (Aves: Strigiformes: Tytonidae) from Seram, Indonesia. Zootaxa, 3635(1), 51–61. https://doi.org/10.11646/zootaxa.3635.1.5
Lim, H. C., Zou, F., Taylor, S. S., Marks, B. D., Moyle, R. G., Voelker, G., & Sheldon, F. H. (2010). Phylogeny of magpie‐robins and shamas (Aves: Turdidae: Copsychus and Trichixos ): implications for island biogeography in Southeast Asia. Journal of Biogeography, 37(10), 1894–1906. https://doi.org/10.1111/j.1365-2699.2010.02343.x
Livezey, B. C. (2010). Phylogenetics of modern shorebirds (Charadriiformes) based on phenotypic evidence: analysis and discussion. Zoological Journal of the Linnean Society, 160(3), 567–618. https://doi.org/10.1111/j.1096-3642.2010.00635.x
Ng, E. Y. X., Eaton, J. A., Verbelen, P., Hutchinson, R. O., & Rheindt, F. E. (2016). Using bioacoustic data to test species limits in an Indo-Pacific island radiation of Macropygia cuckoo doves. Biological Journal of the Linnean Society, 118(4), 786–812. https://doi.org/10.1111/bij.12768
Rheindt, F. E., & Eaton, J. A. (2018). Notes on the taxonomy of Cream-throated White-eye Zosterops atriceps and the biogeography of the Northern Moluccas. BirdingASIA, 30, 48–53.
Rheindt, F. E., Wu, M. Y., Movin, N., & Jønsson, K. A. (2022). Cryptic species-level diversity in Dark-throated Oriole Oriolus xanthonotus. Bulletin of the British Ornithologists’ Club, 142(2). https://doi.org/10.25226/bboc.v142i2.2022.a10
Sibley, C. G., & Monroe, B. L. (1990). Distribution and Taxonomy of Birds of the World. Yale University Press.
Sukmantoro, W., Irham, M., Novarino, W., Hasudungan, F., Kemp, N., & Muchtar, M. (2007). Daftar Burung Indonesia No. 2. In Indonesian Ornithologists’ Union. Indonesian Ornithologists’ Union. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Uva, V., Päckert, M., Cibois, A., Fumagalli, L., & Roulin, A. (2018). Comprehensive molecular phylogeny of barn owls and relatives (Family: Tytonidae), and their six major Pleistocene radiations. Molecular Phylogenetics and Evolution, 125, 127–137. https://doi.org/10.1016/j.ympev.2018.03.013
Wei, C., Schweizer, M., Tomkovich, P. S., Arkhipov, V. Y., Romanov, M., Martinez, J., Lin, X., Halimubieke, N., Que, P., Mu, T., Huang, Q., Zhang, Z., Székely, T., & Liu, Y. (2022). Genome-wide data reveal paraphyly in the sand plover complex ( Charadrius mongolus/leschenaultii ). Ornithology, 139(2). https://doi.org/10.1093/ornithology/ukab085