Skip to content Skip to footer

Menanti Gosong Sula Tiba

Satu minggu sebelum kedatangan tamu dari Pulau Jawa yang akan berkunjung ke Pulau Peling, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, Amran Satali (35) setiap hari mengunjungi lokasi pengamatan burung gosong sula. Batinnya tampak resah. Ia mengaku kesulitan untuk tidur beberapa hari terakhir. Ia ingin memastikan burung yang ditargetkan dapat dijumpai di hari pengamatan.

Amran mulai mengembangkan wisata berbasis masyarakat sejak 2022. Ia juga turut aktif mengembangkan wisata pengamatan burung di desanya bersama Burung Indonesia. Hutan di Desa Koyobunga tempatnya tinggal adalah salah satu habitat dari gosong sula atau Megapodius bernsteinii.

Pengamatan burung gosong sula adalah salah satu aktivitas ekowisata andalan yang dikelolanya bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Koyobunga. Pokdarwis telah mengantungi daftar panjang pengunjung, baik yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara. Para pengamat burung maupun fotografer hidupan liar mengantre untuk datang ke lokasi ini.

Gosong sula adalah spesies burung yang berasal dari keluarga Megapodiidae. Megapodiidae adalah sekelompok burung yang dikenal dengan nama umum burung gosong. Burung-burung dalam keluarga ini memiliki beberapa ciri khas yang membedakan mereka dari burung lainnya. Burung gosong terkenal dengan cara unik mereka menginkubasi telur. Alih-alih mengerami telur dengan panas tubuh mereka, burung ini memanfaatkan sumber panas eksternal seperti sinar matahari, panas bumi, atau bahkan pasir panas untuk menetaskan telur mereka.

Setelah telur diletakkan di dalam sarang, induk burung gosong akan meninggalkan telur tersebut. Anakan burung gosong menetas dalam kondisi yang sudah bisa bertahan hidup secara mandiri dan langsung dapat mencari makan tak lama setelah menetas. Gosong sula pun menjalani lingkaran kehidupan yang sama dengan kelompok burung gosong lainnya.

Gosong sula hanya dapat dijumpai di Kepulauan Sula, Maluku Utara dan Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Mereka biasanya menghuni hutan tropis, hutan hujan, hutang mangrove, pantai berpasir, dan pulau-pulau kecil. Di Desa Koyobunga, habitat spesies ini berada di hutan mangrove di salah satu pulau kecil di bagian utara desa.

Melakukan pengamatan gosong sula mesti dilakukan sebelum matahari terbit. Amran selalu memastikan tata cara pengamatan tidak menganggu saat gosong sula turun untuk mencari pakan. “Kalau kita tiba terlambat, burungnya pasti tidak akan ke tempat itu lagi. Makanya kita harus berada di lokasi pengamatan lebih awal dari burung itu saat turun mencari makan,” katanya kepada saya.

Gosong sula di Desa Koyobunga (Foto: Burung Indonesia/Eunike Taroreh)

02.30 WITA

Hari yang dinanti tiba. Alarm pada gawai saya mengeluarkan peringatan untuk segera beranjak dari tempat tidur. Suara rekaman burung di gawai dengan keras membangunkan saya dan Ainun. Kami segera bergegas. Di depan pondok kerja, kawan-kawan sudah bersiap sedari tadi. Pagi buta kami bergerak ke Desa Koyobunga dengan dua kendaraan roda empat. Laju kendaraan berburu dengan kemunculan garis remang-remang di langit sebelah timur.

Desa Koyobunga adalah satu dari empat desa dampingan Burung Indonesia di Pulau Peling. Desa ini dikenal sebagai penghasil manggis terbaik. Hasil panennya melimpah dengan rasa manis dari biji-bijinya yang segar. Lewat pendampingan ekowisata desa, Burung Indonesia bersama masyarakat Koyobunga bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Banggai Kepulauan berhasil mengangkat manggis sebagai ikon wisata desa ini. Selembar piagam penghargaan menyatakan Desa Koyobunga sebagai Desa Wisata Manggis oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno pada April 2022. Untuk menambah aktraksi, warga desa juga mengembangkan wisata pengamatan burung gosong sula sebagai destinasi utama.

Setiba di Koyobunga, dua perahu sudah menunggu untuk mengantar kami ke lokasi pengamatan. Raut wajah Amran tampak cemas. Hujan yang turun tidak henti biasanya membuat gosong sula enggan untuk keluar dari sarang. Sepuluh pasang mata awas mengamati gerakan dari balik semak belukar. Doa-doa dirapalkan. Berharap hujan berganti cahaya.

Amran mengerling kepada saya. Ia putus harapan!

Saya melirik jam tangan. Pukul 07.30 WITA. Tiba-tiba saya mendengar suara tombol kamera berbunyi bertubi-tubi. Disusul setiap orang mengambil posisi sigap. Seekor gosong sula muncul dari arah utara. Darah saya mendesir!

Si gesit berakrobat dan berputar-putar di depan kami. Sepasang kaki merah yang kokoh ia pertontonkan. Gerakannya lincah dan kokoh. Sesekali ia mengeluarkan suara yang meletup-letup. Kami tersihir dengan gerak-gerik gosong sula. Ia seperti menampilkan pertunjukan seni peran monolog yang penuh daya magis. Andi yang serius merekam menggunakan gawai, tidak menyadari kalau ia menggunakan mode lensa depan. Bermaksud merekam gosong sula, justru layar gawai dipenuhi wajahnya sendiri.

Dalam perjalanan pulang, Amran berseloroh kepada kami. Menurutnya, selama ia mengantar tamu untuk mengamati gosong sula, baru kali itu ia dipenuhi rasa cemas. Durasi yang cukup lama sampai gosong sula menampakkan diri adalah waktu yang paling lama sepanjang pengalamannya mengantar tamu untuk pengamatan burung. Ia sebenarnya, sempat berputus asa di detik-detik terakhir. Kegelisahannya saat malam-malam terakhir sebelum tamu datang, telah berganti suka cita!

Cerita oleh:
Eunike Priskila Grace Taroreh
Community Facilitator Burung Indonesia

Amran dan tim Burung Indonesia di lokasi pengamatan gosong sula (Foto: Burung Indonesia/Ahmad Syauqi Jafani)
id_ID