Kamera jebak merekam aktivitas kakatua sumba memeriksa lubang sarang.
Kakatua-kecil jambul-kuning (Cacatua sulphurea) merupakan burung endemis Indonesia dan Timor Leste, dan kini berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) terhadap kepunahan. Dahulu, populasi jenis ini begitu umum ditemukan di Kepulauan Sunda Kecil dan Sulawesi—bahkan para sesepuh di berbagai desa masih bisa mengingat para orang tua menitahkan mereka memburu kakatua untuk melindungi ladang jagung mereka. Sekarang, populasi kakatua semakin berkurang sehingga banyak anak-anak belum pernah sekalipun melihat rupanya.
Anna Reuleaux, peneliti asal Jerman yang tengah menempuh studi doktoral di Manchester Metropolitan University telah menghabiskan sebagian hidupnya untuk meneliti perkembangan kakatua-kecil jambul-kuning di Indonesia. Ia telah berkeliling ke banyak habitat penting bagi kakatua di kawasan Wallacea, terlebih di Pulau Sumba.
Tangga untuk mengakses sarang kakatua masih berdiri di Pulau Pantar, Alor.
Penelitian Anna bertujuan menyediakan basis pengetahuan untuk aksi konservasi terhadap burung kharismatik ini, termasuk menemukan sebaran populasi tersisa kakatua di Kepulauan Sunda Kecil dan Sulawesi, menghitung jumlah mereka, dan yang terpenting, memahami mengapa jenis ini mampu bertahan di sejumlah lokasi tetapi menghilang di lokasi lainnya. Menyelidiki hasil perkembangan jenis ini, termasuk faktor-faktor penghambatnya juga penting untuk memahami kemampuan bertahan hidup atau kerentanan populasi kakatua. Anna, dengan hasrat yang begitu besar, memacu sepeda motornya ke berbagai tempat di Kepulauan Sunda Kecil.
Perkembangan populasi di Tanah Sumba
Salah satu populasi kakatua-kecil jambul-kuning terbesar dapat ditemukan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, dengan besaran populasi kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) tersisa—anak jenis kakatua-kecil jambul-kuning—dalam perhitungan terakhir hanya seribuan ekor (Cahill et al. 2005). Burung Indonesia dan the Fund for Endangered Parrots (kelompok kerja ZGAP) telah bekerja sama dalam kegiatan penyadartahuan mengenai pelestarian keragaman hayati di Sumba, yang juga mendorong lahirnya Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan menghentikan perburuan “si jambul jingga.”
Tenggeran terbesar kakatua di Pulau Sumba.
Selain untuk menilai kemampuan bertahan hidup, penting juga untuk memahami parameter demografi dan faktor-foktor penghambat proses reproduksi kakatua. Karena itu, Anna dan tim Burung Indonesia Program Sumba telah melakukan pemantauan sarang selama periode utama perkembangbiakan kakatua sumba dari Oktober hingga Maret.
Menemukan sarang kakatua yang masih aktif merupakan pekerjaan sulit. Namun dengan meningkatnya upaya pencarian sepanjang musim 2015-2016, Anna dan tim berhasil menemukan 19 lokasi sarang kakatua. Sayangnya ia hanya menemukan lima telur yang terdapat di dalam sarang dan hanya satu anakan kakatua yang berhasil tumbuh.
Satu anakan lain diketahui telah mampu mengeluarkan kepalanya ke luar lubang sarang yang mengindikasikan kesiapannya untuk belajar menjadi burung dewasa. Namun, dalam kunjungan berikutnya Anna dan tim hanya menemukan tulang belulang anakan tersebut yang mati sebelum dapat terbang, diduga karena serangan predator. Tulang-tulangnya ditemukan di dalam sarang tanpa tengkorak. Hatinya lebur bersama temuannya itu.
Kakatua ini mati sesaat sebelum dapat terbang, kemungkinan menjadi mangsa predator.
Kecewa dengan hasil yang mereka temukan di awal musim, Anna dan tim memasang kamera jebak (camera trap) di atas rongga masuk lubang sarang pada musim 2016-2017. Tidak banyak aktivitas kakatua di sekitar lubang pemantauan dan ia hanya menemukan dua pasang kakatua sumba di dua sarang aktif. Keduanya tengah berada dalam fase akhir berkembang biak, dan berada di lubang yang sebelumnya belum terpantau. Salah satu pasangan kakatua sumba bahkan berhasil menjaga pertumbuhan dua anakan mereka yang beranjak dewasa, temuan pertama dalam sarang pemantauan di Sumba.
Anakan kakatua sumba di dalam lubang sarang.
Rekaman kamera jebak dari lubang sarang menunjukkan bukti adanya kompetitor dan predator potensial bagi kakatua. Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) tertangkap kamera sedang memantau lubang sarang kakatua, yang saat itu sedang kosong. Dua jenis burung hantu juga diketahui menggunakan lubang sarang tersebut di malam hari secara rutin. Sedangkan perling kecil (Aplonis minor), betet-kelapa paruh-besar (Tanygnathus megalorynchos), dan nuri bayan (Eclectus roratus) menguasai lokasi sarang yang telah ditinggalkan oleh kakatua.
Sumba memiliki sejumlah jenis burung yang tertarik terhadap lubang-lubang seperti tergambar di dalam foto—julang sumba sedang menginspeksi lubang.
Dimana populasi kakatua lainnya?
Ada enam anak jenis kakatua-kecil jambul-kuning di Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, dan di tiga kepulauan kecil di Sulawesi dan Laut Jawa. Dari Maret hingga Mei 2017, Anna melakukan ‘road trip‘ menggunakan sepeda motor untuk meninjau populasi anak jenis kakatua-kecil jambul-kuning di kepulauan antara Sumbawa dan Alor. Populasi terbesar yang tersisa dari anak jenis ini berada di Taman Nasional Komodo.[1]
Kondisi trek menuju lokasi potensial populasi kakatua di Pulau Sumbawa.
Antara Sumbawa dan Alor terdapat sekitar 70 lokasi yang sempat tercatat terdapat kakatua-kecil jambul-kuning, yang sebagian besar pada saat ini sudah tidak lagi ditemukan. Anna dan tim Burung Indonesia Program Sumba mengamati lokasi paling potensial, menghitung perkiraan jumlahnya, dan menemukan kondisi yang cocok yang memungkinkan populasi kakatua dapat bertahan hidup.
Tim berhasil menemukan populasi kakatua yang bertahan di 15 lokasi, dengan jumlah empat hingga 46 individu. Bukti adanya penangkapan kakatua hampir terlihat di seluruh lokasi populasi: pemeliharaan kakatua di desa-desa, laporan masyarakat mengenai ‘pemananen’ burung, atau peralatan memanjat yang masih terlihat di pohon sarang.
Kakatua bertahan di area yang sulit dijangkau, seperti lokasi di Pulau Alor ini.
Alasan mengapa populasi ini masih tetap bertahan sangat bervariasi dan setiap tempat memiliki ceritanya tersendiri. Tetapi alasan paling umum adalah bahwa populasi ini terlindungi dari perburuan untuk dijadikan komoditas perdagangan.
Hal tersebut mungkin juga disebabkan keterpencilan lokasi populasi, area yang sulit diakses, berada di kawasan lindung, tanah adat, dan juga akibat penangkapan secara berkelanjutan yang dilakukan oleh seorang penangkap, kecelakaan saat memanjang pohon sarang, dan juga aktivitas penyadartahuan yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat. Jumlah burung yang ditangkap dan kegiatan perburuan masih berlangsung hingga saat ini. Hal itu dapat membawa populasi kakatua menuju kepunahan di masa mendatang jika tidak dihentikan.
Rinca-Robong-Flores, lokasi pemantauan kakatua.
Dari Juli hingga September, Anna memantau populasi kakatua sumba untuk mendapatkan perkiraan jumlah populasi terbaru. Pemantauan menggunakan teknik distance sampling berupaya mencocokkan hasil pemantauan populasi kakatua sebelumnya sedekat mungkin, termasuk jenis burung kunci lainnya dan parameter habitat. Pada Oktober, Anna dan Junior Ecologist Burung Indonesia, Benny Aladin, akan menghitung perkiraan populasi kakatua di Taman Nasional Komodo. Mereka akan menghabiskan 4-6 minggu di Pulau Komodo dan Rinca dan menggunakan teknik distance sampling serupa yang dilakukan di Sumba.
Mencari kakatua di Pulau Adonara.
Musim berkembang biak kakatua sumba akan dimulai saat Anna dan Benny kembali ke Sumba. Kamera jebak akan terpasang di lokasi sarang selama setahun penuh. Mereka mengharapkan akan lebih banyak lubang sarang yang aktif dan dapat menemukan lokasi sarang lainnya. Ketika musim berkembang biak mulai berakhir dengan anakan kakatua yang mulai belajar untuk terbang, di saat itulah Anna akan memantau sebaran jenis kakatua lainnya di lokasi populasi yang ada saat ini: Pulau Timor bagian barat dan Timor Leste, Sulawesi dan kepulauan Tanahjampea dan Wakatobi.
Populasi cacatua sulphurea abbotti—anak jenis kakatua-kecil jambul-kuning yang berada di lokasi terpencil di Pulau Masalembo—kemungkinan tidak akan dikunjungi karena pertimbangan populasinya yang kecil dan telah dilakukan pemantauan secara intens oleh organisasi lain. Saat hasil dari seluruh pemantauan ini terkumpul, mereka akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai status kakatua-kecil jambul-kuning agar dapat mengindentifikasi area penting untuk melakukan aksi konservasi jangka panjang.
***
[1] Saat tulisan ini dimuat, Anna dan Junior Ecologist Burung Indonesia Benny Aladin sedang melakukan pemantauan populasi kakatua di Pulau Komodo.