“Kakatua! Kakatua! Ada tamu!” Itu mungkin sepenggal kalimat yang sering kita dengar dari seekor kakatua, sejenis burung paruh bengkok yang sudah terlatih. Terlatih, artinya burung ini telah dipelihara oleh manusia dan diajar bertutur sapa selayaknya manusia.
Kakatua putih (Foto: Burung Indonesia/Irfan Rosyadi)
Tidak semua burung paruh bengkok dapat dilatih untuk bertutur sapa seperti kakatua. Terlepas dari kemampuannya untuk belajar sapa, tahukah Anda berapa banyak burung paruh bengkok yang ada di Indonesia?
Halmahera, Obi, Buru, Sula, Seram, Yamdena, Kai Besar dan Kai Kecil, Aru, Wetar, serta masih banyak pulau berukuran kecil lainnya. Nah, pulau-pulau inilah yang menjadi rumah jenis paruh bengkok endemis tertentu, yang tidak ditemukan di pulau lainnya di kawasan Maluku. Jenis endemis ini sudah beradaptasi dengan iklim Maluku yang kering dan panas sehingga mereka dapat bertahan hidup.
Pulau Buru yang terletak 75 km sebelah barat Pulau Seram tergolong pulau yang paling kaya paruh bengkok endemis. Pulau seluas 8.500 km2 ini jadi rumah trio paruh bengkok khas Buru, yakni perkici buru (Charmosyna toxopei), kring-kring buru (Prioniturus mada), dan betet-kelapa buru (Tanygnathus gramineus).
Setelah Buru, ada Kepulauan Tanimbar yang jadi rumah duet manis kakatua tanimbar (Cacatua goffiniana) dan nuri tanimbar (Eos reticulata). Adapula paruh bengok yang berani bersolo karir di satu pulau sendirian, seperti serindit sula (Loriculus sclateri) yang hanya hidup di Kepulauan Sula.
Pelangi Memudar
Keindahan warna-warni paruh bengkok yang secantik pelangi pasti mengundang decak kagum. Namun, decak kagum juga dapat membawa malapetaka bagi burung paruh benkok, dan membuat pelangi itu lambat-laut memudar. Pasalnya, decak kagum itu pula yang membawa burung paruh bengkok jadi jenis burung yang paling sering diperdagangkan secara nasional maupun internasional. Peraturan memang telah dibuat, tapi penegakan hukum masih belum dapat berjalan sepenuhnya.
Kakatua putih hasil sitaan Polair Maluku Utara dalam kandang karantina BKSDA Maluku di Ternate. (Foto: Burung Indonesia/Grace Ellen)
Peraturan untuk melindungi paruh bengkok itu nyata-nyata tak digubris. Padahal, ada peraturan internasional mengenai perdagangan burung (CITES), peraturan pemerintah mengenai satwa yang dilindugi PP. No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan status terancam punah yang ditetapkan IUCN yang menunjukkan bahwa jenis paruh bengkok tersebut telah diambang punah.
Sungguh ironis. Tidak kurang dari sebelas jenis paruh bengkok telah dilindungi Peraturan Pemerintah Indonesia No. 7 tahun 1999, tapi penurunan populasi di alam nyata-nyata terus terjadi. Contohnya adalah jenis burung kakatua-kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea). Jenis in sering ditangkap untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan sehingga populasinya di alam turun drastis. Diperkirakan populasi burung ini di alam sudah turun sampai 80 persen. Kondisi ini membuat badan dunia IUCN menetapkan status burung ini kritis dan perlu dilakukan aksi konservasi yang nyata agar mereka tidak benar-benar punah di alam.
Jika burung yang sudah dilindungi berlapis-lapis saja masih terancam di alam, bagaimana dengan yang belum dilindungi? Ceritanya tentu sama saja, bahkan bisa jadi lebih parah. Contohnya kakatua putih (Cacatua alba) yang memiliki bulu putih bersih dengan jambul putih sehingga sangat menarik perhatian.
Burung yang hanya ditemukan di bagian tengah dan utara Kepulauan Maluku ini banyak ditangkap untuk diadopsi menjadi anak asuh di dalam negeri maupun luar negeri. Tidak kurang 6.600 ekor diekspor ke luar negeri pada tahun 1991. Yang membuat hati semakin teriris, selain penangkapan burung yang terus berlanjut, perluasan areal pertanian dan penebangan hutan juga menghabiskan rumah burung ini. Kembali IUCN beraksi dan menetapkan status kakatua putih genting agar kita sadar bahwa perlu aksi nyata supaya burung ini tak hilang dan punah dari alam.
Nuri bayan (Foto: Burung Indonesia/Hanom Bashari)
Di Kepulauan Tanimbar, habitat burung ini diambil alih oleh manusia. Pohon pakan ditebang semena-mena, sementara hutan dibuka untuk perluasan desa dan perkebunan/pertanian rakyat. Jadilah kakatua tanimbar kehilangan rumah dan tempat mencari makan. Lalu, ke mana dia harus mengisi perutnya yang keroncongan? Terbang ke sana ke mari tanpa tahu mau hinggap di mana, tiba-tiba mata kakatua tanimbar tertuju pada ladang jagung yang menguning. Tanpa pikir panjang ratusan kakatua tanimbar mendarat, dan ratusan tanaman jagung pun lunglai. Tentu saja pemilik ladang naik pitam. Hasilnya, kakatua ditangkap dan dicap sebagai hama. Siapa yang salah?
Harmonisasi
Cerita kakatua tanimbar tadi menggambarkan keseimbangan ekosistem yang terganggu. Kalau saja tempatnya mencari makan masih utuh, mungkinkah kakatua tanimbar melahap jagung penduduk? Sebagai makhluk yang diberi kemampuan lebih, seharusnya manusia bisa menjaga harmonisasi alam. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan menanam pohon-pohon asli sebagai tempat tidur sekaligus sumber pakan si burung.
Peraturan yang ada sebenarnya sudah cukup baik. Jika penangkap burung patuh, burung akan berkesempatan beranak-pinak sehingga jumlahnya di alam tidak menurun drastis. Meksipun demikian, perlu juga diimbangi dengan pelestarian habitat burung, sehingga mereka tetap memiliki rumah untuk berteduh dan pekarangan untuk mencari makan.
Akhir kata, harmonisasi alam tercapai bila manusia mengakui hak makhluk lainnya untuk hidup dan berbagi sumber daya yang ada. Jagalah keunikan alam Indonesia karena semua ini merupakan warisan dunia. Menjadi tanggung jawab kita untuk meneruskannya ke anak cucu, seperti nenek moyang telah mewariskannya kepada kita. (William M. Rombang)
***
Publikasi ini merupakan seri arsip artikel Majalah Burung yang sempat beredar pada kurun waktu 2006-2011. Informasi mengenai status burung telah diperbarui dengan status teraktual.