Wallacea memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Kekayaan floranya bervariasi, sedangkan endemisitas faunanya begitu unik. Kawasan ini merupakan rumah bagi 560 jenis terancam punah di Indonesia. Kadal terbesar di dunia, Komodo, hanya dapat ditemukan di Pulau Komodo, Padar, Rinca, dan Flores di kawasan Wallacea. Keunikan burung-burung endemisnya tak ditemukan di belahan lain di dunia. Sayang, kekayaan tersebut menyimpan ancaman yang besar.
Di daratan, ancaman keanekaragaman hayati kawasan Wallacea muncul dari konversi lahan serta degradasi dan fragmentasi; di laut, eksploitasi berlebihan menjadi ancaman utama bagi sebagian spesies. Di samping itu, secara tak langsung banyaknya masalah mengenai regulasi pembangunan tata tuang menyebabkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati di kawasan ini semakin meningkat.
Untuk menjaga Wallacea dari ancaman kerusakan, pada 1 Juni 2013 program Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) atau Dana Kemitraan Ekosistem mulai mengkaji aspek ekologi dan sosial-ekonomi kawasan ini melalui penyusunan profil ekosistem kritis dan rentan Wallacea. Burung Indonesia bertindak sebagai tim pelaksana penyusunan profil ekosistem bersama BirdLife International, Wildlife Conservation Society, Samdhana Institute, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
Profil ekosistem menjadi tolok ukur untuk mengetahui di mana jenis dan kawasan yang paling rentan terhadap kerusakan, sehingga perencanaan pembangunan dapat mengedepankan perspektif yang ramah lingkungan. Untuk menerapkan kriteria kawasan atau koridor penting, tim penyusun profil ekosistem terlebih dahulu mengidentifikasi area penting bagi keragaman hayati atau key biodiversity areas (KBA) atas pertimbangan keunikan flora dan fauna di dalamnya, tingkat keterancaman, dan nilai penting kawasan bagi kehidupan masyarakat setempat.
Daftar KBA akhir terdiri dari 251 KBA darat, dengan 105 KBA di wilayah Sunda Kecil (82 di Nusa Tenggara dan 23 di Timor-Leste), 95 KBA di Sulawesi dan 51 KBA di Maluku. Sementara itu, terdapat 140 KBA laut yang telah teridentifikasi berdasarkan catatan lokalitas untuk spesies terancam punah secara global. Agar proses ekologi dan evolusi dapat terus terjaga, tim menentukan sejumlah koridor sebagai lanskap spesies spesifik yang bergantung pada wilayah habitat atau wilayah jelajah yang luas.
Pada Desember 2014, CEPF menunjuk Burung Indonesia sebagai tim pelaksana regional program konservasi di Wallacea. Tak lama berselang, pada 2015, hibah senilai Rp50 miliar dikucurkan kepada organisasi masyarakat sipil untuk melakukan aktivitas konservasi di Wallacea selama lima tahun. Di luar aksi konservasi, program ini juga bertujuan untuk mendorong pengentasan kemiskinan serta mengembangkan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.
Ilustrasi: Arief Indrawan/Burung Indonesia
Tim penyusun profil ekosistem tidak bekerja sendiri. Pemerintah lokal, komunitas, pelaku bisnis, dan organisasi masyarakat sipil di Wallacea pun turut serta memberikan masukan untuk merancang profil. Sedangkan di tingkat nasional, pemerintah Indonesia dan Timor-Leste juga memberikan masukan mengenai proses dan analisis sasaran aksi konservasi melalui dukungan badan-badan pemerintah maupun kementerian terkait.
Profil ekosistem Wallacea kemudian menjadi salah satu instrumen agar penyusunan regulasi mengenai pembangunan tata ruang baik di tingkat lokal maupun nasional dapat bersinergi dengan aksi-aksi konservasi di kawasan ini. Sebelum terbitnya profil ini, ketersediaan data mengenai lanskap keanekaragaman hayati di kawasan Wallacea belum sepenuhnya memadai.
Baca juga: #15thnBurungIndonesia: Memelihara Harapan Kenton Miller Award
***
Penerbitan artikel ini merupakan bagian dari rangkaian publikasi menyambut ulang tahun Burung Indonesia yang ke-15 tahun. Setiap tanggal 15 selama 2017 kami akan mempublikasikan beragam artikel mengenai capaian-capaian terbaik yang telah Burung Indonesia raih selama 15 tahun bekerja di rumah bagi 1769 jenis burung ini.