Burung yang kita kenal sekarang ini ternyata adalah hewan bertulang belakang yang paling bervariasi. Tak kurang dari sepuluh ribu jenis burung yang hampir 1700-an di antaranya tercatat di Indonesia. Variasi tersebut berkembang sepanjang sejarah panjang burung dalam kurun evolusinya sejak sekitar 150 juta tahun yang lalu.
Elang flores mengamati mangsanya dari atas dahan (Foto: Burung Indonesia/Samuel Rabenak)
Dalam masa yang panjang tersebut burung telah berhasil sintas hingga masa modern ini. Termasuk ketika menghadapi dinamika bumi yang ekstrem seperti masa kepunahan massal. Di saat banyak dinosaurus tidak bertahan hidup, bangsa burung berhasil melewatinya.
Tantangan burung melewati dinamika yang ekstrem kini terjadi kembali. Tetapi lebih berat. Saat ini dinamika lingkungan tidak hanya dipengaruhi faktor geologis atau astronomis. Manusia, yang “baru” lahir di bumi seratusan ribu tahun yang lalu, telah sukses mengubah bentang alam dan siklus materi di bumi.
Dengan meningkatnya gas rumah kaca oleh aktivitas manusia, diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan suhu muka bumi naik sekitar 3,5°C. Padahal, para ahli telah mengingatkan bahwa kenaikan 2°C pun sudah sangat berat. Walaupun dengan biaya besar, negara-negara kaya dapat melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap kondisi tersebut. Namun bagi negara berkembang adaptasi menjadi upaya yang lebih berat.
Bagi burung-burung, upaya mengatasi dinamika lingkungan sesungguhnya telah berlangsung sejak lama. Burung telah memiliki modal “pengalaman” evolusi jutaan tahun beradaptasi. Namun perubahan iklim saat ini berlangsung dengan cepat dan pengingkatan sepesat ini belum pernah dialami sebelumnya.
Ada beragam contoh perubahan yang terjadi dalam perilaku burung. Ambil contoh, beberapa burung kini membuat sarang lebih cepat dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Semakin cepatnya kedatangan musim panas menjadi penyebab.
Kenaikan suhu juga dapat menyebabkan penyempitan rentang habitat. Ada burung yang bergantung pada rentang suhu tertentu. Dengan naiknya suhu, maka rentang tersebut menjadi bergeser, misalnya ke ketinggian yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih sejuk. Akan tetapi pergeseran semacam ini pun hanya untuk sampai batas tertentu.
Di sisi lain, berpindah juga belum tentu menyelesaikan masalah-masalah lain seperti ketersediaan pakan. Ketergantungan terhadap pohon pakan atau pohon sarang yang terpengaruh perubahan iklim juga menjadi kritis. Apalagi terkait dengan kemampuan mobilitas dan siklus hidupnya pohon tidak bisa dengan mudah menggeser tempat hidupnya.
Perubahan iklim telah terjadi, maka hal yang paling penting dilakukan adalah mengurangi lajunya. Kita tantang negara industri untuk segera mengurangi emisi mereka. Di sisi lain, kita juga perlu meningkatkan kapasitas adaptasi kita. Selain perbaikan infrastruktur keras, sebetulnya hutan alam juga berperan besar untuk adaptasi perubahan iklim.
Hutan alam menjadi solusi yang strategis karena pada satu sisi dapat mengurangi dan merosotkan emisi di sisi lain juga menyediakan kemampuan adaptasi. Masyarakat di sekitar hutan dapat secara langsung memanfaatkan hasil-hasil hutan sebagai pengganti penghidupan yang terganggu dampak perubahan iklim.
Dan bagi burung-burung, hutan yang sehat menyediakan relung hidup yang lebih beragam. Perkembangan pengetahuan akan meningkatkan pemahaman kita dalam menyiapkan strategi terbaik adaptasi untuk hutan. Namun saat ini yang terbaik adalah menjaga hutan alam tetap lestari agar burung-burung dapat terus terbang dan bersuara. (Yoppy Hidayanto)
***
Publikasi ini merupakan seri arsip artikel Majalah Burung yang sempat beredar pada kurun waktu 2006-2011. Informasi mengenai status burung telah diperbarui dengan status teraktual.