Nelayan di pantai selatan Lebau, Flores. Foto: Burung Indonesia/Erlangga
Sejak tahun 1980-an para pekebun kelapa di banyak desa di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara akrab dengan penggunaan pestisida untuk membasmi hama belalang sexava. Belalang ini ganas memangsa daun hingga bunga kelapa di wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Begitu hebat serangannya hingga sempat ia dibasmi dengan penyemprotan dari udara menggunakan helikopter. Namun bukan hama yang hilang dari perkebunan kelapa di Talaud, melainkan satwa-satwa lain yang justru bertumbangan karena tidak tahan racun pestisida. Satu di antaranya adalah burung nuri talaud (Eos histrio talautensis), satu sub-jenis yang hanya hidup di pulau ini dan merupakan salah satu pemangsa alami belalang sexava.
Hama belalang tetap mengganas hingga kini meskipun dosis pestisida dilipatgandakan. Bahkan, pestisida tidak lagi disemprotkan melainkan ‘disuntikkan’ lewat lubang yang dibor pada batang pohon kelapa[i]. Semua upaya itu tak membuat belalang ini sirna, ia sepertinya makin kebal terhadap racun. Petani pun sudah habis akal, terperangkap dalam simalakama: tak menggunakan pestisida maka tanaman habis, memakai pestisida berarti memproduksi bahan makanan yang mengandung racun.
Lain lagi kisah di pedalaman nun terpencil antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara di mana danau-danau purba Matano, Mahalona dan Towuti tersembunyi. Meski jauh dari mana-mana, ketersohoran ketiga danau ini tak terbantahkan. Perairannya dihuni oleh biota-biota air tawar yang tak akan dijumpai di belahan dunia lain, bahkan di sungai dan danau manapun di Pulau Sulawesi. Karena estetika-nya pula, banyak satwa udang dan ikan endemis ketiga danau ini jadi incaran penghobi akuarium air tawar dari seluruh penjuru dunia. Kesehatan air di tiga danau ini amat tergantung pada rimbunnya hutan-hutan yang menyelimuti perbukitan di sekelilingnya, baik yang berstatus kawasan konservasi maupun hutan lindung.
Sejak awal dekade 2000-an beberapa petani di Kecamatan Sorowako mulai mengembangkan tanaman lada di kebun-kebun mereka, di desa-desa sekeliling tiga danau. Upaya mereka rupanya sangat berhasil sehingga diikuti oleh sesama petani setempat. Produksi dan harga jual yang fantastis menarik makin banyak warga menanam lada, bahkan orang luar dan pendatang tak ingin ketinggalan meraup rupiah dengan berinvestasi pada rempah-rempah yang satu ini. Sampai saatnya di mana lahan pertanian di kampung-kampung tak bersisa lagi untuk menanam lada. Padahal modal terus berdatangan mencari lahan untuk menanam lada. Maka perlahan namun pasti perluasan kebun merangsek kawasan hutan.
Nuri talaud (Eos histrio talautensis). Foto: Burung Indonesia
Telah banyak petak-petak hutan di sekitar danau utamanya Danau Towuti yang berganti menjadi kebun lada[ii]. Seringkali kebun-kebun itu tak nampak dari luar karena sengaja dibuka agak di dalam untuk menghindari pantauan. Serbuan lada tak hanya terjadi di wilayah Sulawesi Selatan melainkan terus melebar hingga melewati perbatasan Sulawesi Tenggara. Semakin luas kawasan hutan yang berganti menjadi kebun monokultur rempah. Kerusakan hutan juga diperparah oleh pembalakan yang mengantarkan kayu-kayu gelondongan ke banyak saw mill (penggergajian kayu) yang ada di sekitar danau-danau.
Dua paparan di atas menampilkan potret lokal atas krisis besar yang tengah melanda bumi kita. Ini diulas dalam sebuah laporan komprehensif yang bertajuk Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services 2019 oleh IPBES yang memaparkan status keanekaragaman hayati bumi yang kian menghawatirkan bagi keberlanjutan kehidupan. Dokumen ini, yang disintesis dari sekitar 15.000 kajian di seluruh dunia oleh 145 ilmuwan dari 50 negara selama tiga tahun terakhir, mengungkapkan bahwa bumi telah kehilangan lebih dari 80 persen biomas hewan menyusui ketika berbagai ekosistem alami dihancurkan pada laju hingga ratusan kali lebih cepat dari yang terjadi selama 10 juta tahun terakhir.
Secara khusus laporan ini juga mengulas bahwa secara global 50% perluasan sektor pertanian dan perkebunan menyebabkan hilangnya hutan, termasuk oleh budidaya monokultur. Semua itu dalam rangka menaikkan produksi pangan hingga 300 persen sejak 1970[iii]. Hutan-hutan dibabat untuk membuka penggembalaan ternak, sawah, ladang gandum, jagung, anggur, dan berbagai komoditi yang memanjakan manusia yang populasinya terus tumbuh hingga lebih dari 7 milyar jiwa pada milenium ini.
Menurut laporan di atas, pertanian dan perikanan merupakan sektor yang paling berkontribusi memusnahkan keanekaragaman hayati bumi. Pemakaian pestisida yang luar biasa volumenya disertai pembukaan banyak habitat alami seperti hutan mengancam punahnya satu dari tiap sepuluh jenis serangga. Perlu digarisbawahi bahwa serangga, selain tentu saja burung dan kelelawar, berperan sangat penting dalam penyerbukan tanaman, tidak terkecuali tanaman yang menghasilkan pangan bagi manusia. Fungsi ini tidak bisa digantikan seperti mengganti nutrisi tanah dengan pupuk atau mengganti musuh alami hama dengan pestisida. Risiko terganggunya penyerbukan tanaman oleh serangga setara dengan kerugian senilai US$ 577 milyar akibat gagal panen. Sungguh ironis, dalam rangka memenuhi kebutuhan kita akan pangan, kita justru menghancurkan sistem alam yang bekerja sebagai pondasinya.
Lautan pun tak luput dari penghancuran sistematis, terhitung hanya 3% wilayah lautan yang aman dari tekanan oleh manusia akibat perikanan industrial, overeksploitasi sumber daya laut, dan sampah. Terhitung 100-300 juta orang di wilayah pesisir akan mengalami peningkatan risiko akibat hilangnya perlindungan habitat pesisir. Sementara itu sumber daya laut hanya tinggal 7% yang masih bisa dimanfaatkan secara optimal karena sisanya telah dimanfaatkan hingga di batas maksimalnya. Khusus kawasan Asia Pasifik, proyeksi yang dimunculkan bagi keanekaragaman hayati yakni 24-25% jenis mamalia dan burung akan punah di dataran rendah Asia Tenggara; serta ±45% kemungkinan hilangnya habitat dan spesies pada tahun 2050 jika tidak ada perubahan dalam praktik terhadap alam dan keanekaragaman hayati [iv].
Penyemprotan pestisida di kebun merica tepian Danau Matano. Foto: Burung Indonesia
Hancurnya ekosistem, secara langsung dan tidak langsung mengikis fondasi penting ekonomi, penghidupan, keamanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup manusia seluruh dunia (Watson 2019[v]). Sejarah telah mencatat banyak peradaban besar di muka bumi telah musnah, timbul lalu tenggelam akibat krisis ekologi manakala manusia memantik krisis hingga di taraf yang tak mampu lagi dikendalikannya.
Di perairan Wallacea, yaitu laut-laut di sekitar pulau-pulau Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara serta Nusa Tenggara, praktik perikanan yang merusak kian lazim. Justru menangkap ikan secara tradisional dan ramah lingkungan adalah hal langka. Nelayan-nelayan di perairan Solor Selatan, perairan Lembata, perairan Pulau Boano, perairan Labobo-Bangkurung, dan banyak pesisir lainnya telah banyak yang piawai meracik peledak buatan untuk menangkap ikan secara cepat dan mudah[vi]. Tetapi tidak saja praktik ini membunuh ikan-ikan non-target, melainkan juga menghancurkan terumbu karang, tempat ikan-ikan kecil berlindung dan banyak biota laut lainnya mencari makan.
Akibatnya ekosistem perairan lumpuh, ikan-ikan pergi karena laut setempat tak lagi menyediakan pakan dan tempat berkembang biak yang aman. Pada akhirnya, nelayan juga yang menanggung akibatnya karena harus melaut semakin jauh untuk mendapatkan ikan. Nelayan pengebom ikan tak berpikir panjang dan terus mencari perairan baru untuk meledakkan bom rakitannya. Sementara itu, armada perusahaan-perusahaan penangkap ikan skala besar yang beroperasi di laut lepas memanen sebanyak-banyaknya ikan yang mampu diangkut oleh kapal-kapal mereka tanpa pernah berpikir memberi waktu sela bagi ekosistem laut untuk meremajakan diri.
Untuk itu, laporan ini menyeru amat serius kepada para pemimpin dan tokoh dunia dengan menegaskan bahwa upaya-upaya yang saat ini telah dilakukan belum cukup untuk menghentikan krisis. Di antara beberapa rekomendasi, para pemimpin dunia dituntut untuk menyelenggarakan pembangunan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berkeadilan, yang ditujukan untuk mengkonservasi lingkungan, memperbaiki keanekaragaman hayati, dan meningkatkan layanan alam (ecosystem services). Tuntutan atas perlindungan dan penyelamatan keragaman hayati adalah pengingat akan takdir manusia untuk menjaga fondasi kehidupan, yaitu ekonomi (sumber daya alam) dan budaya (nilai-nilai estetika, social, dan religi).
Sejak awal 2016, tiga desa di Kabupaten Kepulauan Talaud, yaitu Desa Ambela, Desa Bengel, dan Desa Rae Selatan mengikuti Program Kemitraan Wallacea yang mencanangkan inisiatif pelestarian keragaman hayati sekaligus mengolah sumber daya secara berkelanjutan. Demplot pertanian organik yang mereka kelola mampu menghasilkan bahan pangan yang sehat. Beberapa bahkan mampu mengemas hasilnya menjadi komoditi yang laris di pasar lokal hingga Manado. Warga juga telah menghentikan penggunaan pestisida dan memulai pengendalian hama sexava secara alami. Atas upaya-upaya ini, ketiga desa ditetapkan oleh Bupati Talaud sebagai Desa Konservasi. Bupati pun dapat diyakinkan untuk mengganti subsidi pestisida dengan insentif bagi pengendalian hama secara alami.
Lewat program yang sama, Desa Nuha dan Desa Bantilang di pinggir Danau Matano dan Towuti telah difasilitasi untuk merencanakan tata ruang desanya berdasarkan praktik yang diajarkan turun temurun. Kearifan ini membagi ruang kampung untuk beberapa fungsi yaitu pemukiman, produksi dan lindung. Kesepakatan warga lalu disahkan dengan peraturan desa agar berkekuatan hukum dan dapat dilaksanakan. Berbekal peraturan desa ini, warga dengan sadar menghentikan upaya perambahan hutan lindung untuk perkebunan merica. Aturan ini tidak hanya berlaku tegas dan efektif bagi mereka, melainkan juga terhadap orang luar yang mencoba membuka lahan di kawasan hutan.
Alih fungsi lahan menjadi wilayah tambang liar di Gorontalo. Foto: Burung Indonesia