Saat pagi merekah dan sinar mentari menembus celah hutan, saat itulah suara kakatua mulai terdengar dan terbang melintas mengitari lahan pertanian masyarakat di pinggiran hutan Kepulauan Tanimbar. Masyarakat di kepulauan ini sangat mengenal kakatua tanimbar (Cacatua goffiniana) karena sangat mudah dijumpai di hutan maupun lahan pertanian, pun karena ulahnya yang dianggap merugikan produksi pertanian masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap kakatua tanimbar sebagai hama.
Populasi terbesar kakatua tanimbar berada di Pulau Yamdena, pulau terbesar di antara nusa-nusa di Kepulauan Tanimbar. Mereka menghuni hutan primer dan hutan sekunder, hutan bakau yang tinggi, dan terkadang mendatangi daerah pertanian. Selain perburuan dan alih fungsi lahan, ancaman besar populasi jenis ini—serta nuri tanimbar (Eos reticulata)—di alam adalah penangkapan dan perdagangan. Sejak 1982, telah tercatat volume perdagangan jenis ini di pasar internasional.
Pengetahuan masyarakat Kepulauan Tanimbar mengenai jenis kakatua ini sangat baik. Bahkan mereka mengetahui bahwa kakatua yang berada di Tanimbar berbeda dengan jenis kakatua lain yang berada di Kepulauan Maluku. Kakatua tanimbar juga memiliki beragam nama lokal, sesuai dengan daerah masing-masing masyarakat—anar, arar, tilngoi, tingloi, kake, dan kai–bahkan terdapat legenda mengenai asal usul jenis ini.
Pada 2005, Burung Indonesia melakukan pemantauan mengenai praktik penangkapan dan perdagangan satwa liar secara intensif, khususnya untuk kakatua dan nuri tanimbar. Hasilnya, alasan utama penangkapan secara umum kedua jenis tersebut adalah karena adanya permintaan dari para pengepul, juga karena predikat hama yang melekat pada burung paruh bengkok ini. Maka tak heran jika masyarakat, khususnya sebagian besar para petani, membiarkan para oknum melakukan penangkapan. Selama periode pemantauan, diperkirakan ada sekitar 10,560 individu kakatua tanimbar yang tertangkap setiap tahun di seluruh wilayah Tanimbar.
Kakatua tanimbar telah masuk ke dalam daftar Appendix I Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES). Artinya jenis satwa yang masuk ke dalam kategori ini adalah jenis yang terancam punah apabila perdagangan tidak dihentikan. Oleh sebab itu, perdagangan kakatua tanimbar hasil tangkapan alam dinyatakan sebagai praktik ilegal. Badan Konservasi Dunia (IUCN) pun menetapkankan jenis ini berstatus Mendekati Terancam Punah (Near Threatened). Sementara, pemerintah telah memasukkannya dalam daftar satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Dianggap hama pertanian
Konflik antara masyarakat dan kakatua memang telah terjadi sejak lama. Sekali berkumpul saat menyantap produk pertanian masyarakat jumlahya dapat mencapai ribuan ekor. Selain jagung, kakatua juga memakan padi milik masyarakat, juga pisang dan pepaya. Konflik ini memang terjadi secara terbuka. Sebab, pada umumnya masyarakat petani di Tanimbar menggunakan sistem pembukaan lahan hutan yang menjadi habitat alami kakatua secara langsung untuk menjalankan kegiatan pertanian mereka.
Setelah belasan hingga puluhan tahun di lahan baru, mereka biasanya akan kembali ke lahan lama yang telah memiliki tutupan hutan. Di sejumlah lokasi, praktik pembukaan telah diatur di dalam hukum adat setempat. Tetapi, di beberapa tempat di Yamdena bagian barat laut, masyarakat menemukan kesulitan untuk kembali bertani di lahan lama karena proses restorasi hutan berlangsung jauh lebih lama dibandingkan daerah lain. Oleh sebab itu, mereka terus membuka lahan baru.
Tindakan untuk menghalau datangnya kumpulan kakatua telah dilakukan oleh para petani dengan mengawasi ladang atau sawah menjelang musim panen. Cara paling umum adalah dengan membuat orang-orangan sawah atau mengikat kain atau plastik putih di areal pertanian untuk menakuti kakatua.
***
Penting untuk diketahui: Dari sekitar 10,000 jenis burung yang ada di dunia, Indonesia merupakan rumah bagi 1,769 jenis burung liar. Mengetahui beragam jenis burung beserta jasa lingkungannya merupakan salah satu cara menghargai kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia.