Indonesia sebagai pusat keanekaragaman hayati laut memiliki luas perairan 3.257.483 km2 dengan luas terumbu karang sekitar 2,5 juta hektare. Ikan tumbuh subur di karang-karang sehat. Ragam hayati laut pun menjadikan perairan Nusantara sebagai jalur migrasi dan suaka ruaya yang penting. Sebagai bangsa bahari, kekayaan laut Indonesia menjadi berkah bagi para pengarung laut ketika mencari ikan.
Di bagian timur Indonesia yang mahsyur disebut sebagai kawasan Wallacea, komunitas nelayan kecil dan tradisional sangat menggantungkan penghidupannya pada perikanan tangkap di sekitar wilayah pesisir. Praktik yang sejak lama ditopang oleh kearifan lokal ini kini kian terdesak oleh praktik perikanan tangkap dengan cara-cara yang merusak (destructive fishing) seperti penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan serupa bom, racun, dan pukat harimau.
Ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi yang sebelumnya begitu mudah didapat di area terumbu karang yang sehat kini lenyap sebab taman laut mereka hancur karena praktik tersebut. Nelayan-nelayan yang dahulu dapat menjala ikan tak jauh dari tepi pantai dimana anak dan istrinya menunggunya pulang, kini harus melaut semakin jauh dan mengeluarkan biaya tak sedikit. Populasi berbagai jenis ragam hayati laut terancam punah pun semakin terdesak.
Program Kemitraan Wallacea selama tiga tahun terakhir berupaya mendorong praktik perlindungan pesisir dan laut berbasis komunitas di tingkat tapak. Strategi penetapan kawasan konservasi perairan (KKP) tingkat desa yang dikombinasi dengan penyadartahuan dan peningkatan kapasitas bagi nelayan menjadi strategi efektif untuk melindungi dan memulihkan kawasan pesisir, juga menghalau praktik perikanan yang merusak dari wilayah tangkap desa.
Dalam tiga tahun implementasi (2015-2017), program ini telah memfasilitasi delapan belas inisiatif konservasi lokal di lima koridor laut, yaitu Solor-Alor, Buru, Sulawesi Utara, Togean-Banggai, dan Halmahera. Menurut Team Leader Regional Implementation Team Program Kemitraan Wallacea, Adi Widyanto, pada awal berjalanannya program, Burung Indonesia dan para mitra lebih banyak mencoba efektifitas model perlindungan di tingkat tapak yang dirancang sangat spesifik di tingkat desa. Jika dibandingkan dengan kawasan konservasi, ujarnya, secara luasan model ini tidak terlalu kentara.
“Tipikal program ini adalah model pembentukan kawasan yang didesain dari bawah, dengan assessment dan konsultasi penentuan batas-batas kawasan melibatkan masyarakat. Laporan balik dari lapangan, yakni dari mitra, mengungkapkan model tersebut tidak hanya efektif dalam menekan destructive fishing, tetapi juga mengembalikan ‘zona nyaman’ bagi biota-biota laut untuk kembali mengolonisasi wilayah yang tadinya mereka tinggalkan karena habitat karang yang rusak,” ujarnya dalam Lokakarya Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut dan Kawasan Konservasi Perairan di Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Rabu (2/05/2018) lalu.
Kawasan perairan di Wallacea yang sudah sejak lama terjadi praktik perikanan merusak adalah wilayah perairan Balantak yang berada di koridor laut Togean-Banggai. Praktik tersebut dilakukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan industri perikanan. Situasi tersebut meningkatkan ancaman bagi beragam jenis satwa terancam punah dan ekosistem perairan secara umum. Salah satu mitra Program Kemitraan Wallacea, Perkumpulan Relawan untuk Orang dan Alam (ROA), yang sejak awal 2017 berupaya memperkuat aksi penyelamatan ekosistem pesisir dan laut serta melindungi jenis dilindungi di perairan Balantak mengungkapkan, model pendekatan di tingkat tapak berhasil mengurangi intensitas praktik perikanan merusak dan mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembentukan sekaligus pengelolaan daerah perlindungan laut (DPL).
“Hasil yang didapatkan dari pendekatan ini adalah terbentuknya DPL secara partisipastif yang dilakukan oleh masyarakat dan meningkatnya kesadaran dan pengetahuan mereka mengenai pelestarian kawasan laut dan pesisir. Kini masyarakat di dua desa dampingan kami di Kelurahan Talang Batu secara kolektif membentuk kelompok pengawas DPL,” kata Ketua Perkumpulan ROA, Mochammad Subarkah.
Sementara itu, Mat Bahsoan, Koordinator Program Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) mengatakan pembelajaran yang berhasil pihaknya petik dari model perlindungan pesisir dan laut berbasis komunitas ini adalah bagaimana masyarakat pada akhirnya mampu membangun jaringan dengan pihak luar terkait pengelolaan kawasan perairan di dua desa di Kabupaten Banggai, yakni Desa Uwedikan dan Desa Lambangan.
Wilayah perairan Desa Uwedikan merupakan jalur perlintasan dugong dan penyu. Di wilayah tersebut warga masih ingat bagaimana praktik destructive fishing menggunakan bom dan potasium sempat mengancam ekosistem perairan mereka. “Melalui upaya penyadartahuan dan peningkatan kapasitas, awalnya masyarakat bersepakat untuk membuat DPL. Seiring berjalannya waktu, karena mereka berharap ada kelanjutan kerja sama terkait pengelolaan kawasan perairan dan pesisir, mereka menyepakati adanya wilayah kawasan konservasi perairan melalui surat keputusan pemerintah desa setempat terkait kelompok pengelola KKP dan rancangan peraturan terkait wilayah perlindungan laut,” jelas Bahsoan.
Hasil positif yang berhasil diraih para mitra Program Kemitraan Wallacea disambut secara baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menurut Ahli Madya Pengelola Eksostem Laut dan Pesisir Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, Muhammad Saefudin, ada dua fungsi esensial kawasan konservasi perairan, yakni menyediakan ekosistem yang sehat dan mengurangi degradasi habitat dan kepunahan sumber daya ikan.
“Kawasan konservasi masih menekankan kepada kelestarian ikan nonkonsumsi dan pengelolaan jasa lingkungan, namun di sisi lain juga belum menjadi bagian utuh dari pengelolaan wilayah pengelolaan perairan (WPP). Misalnya saja, kawasan konservasi saat ini hanya sekitar 5 persen dari luas WPP yang idealnya 30 persen. Selain itu, kawasan konservasi masih memiliki sejumlah kelemahan yang perlu diperbaiki yakni mengenai kelembagaan, SDM, pengawasan, dan belum adanya sistem pendanaan berkelanjutan,” katanya saat menerangkan mengenai pengelolaan ekosistem laut dan pesisir secara umum di Indonesia.
Inisiatif pengelolaan ruang laut oleh pemerintah daerah sempat melalui masa keraguan pasca berlakunya Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, khususnya mengenai pembagian urusan bidang kelautan dan perikanan yang mengalihkan aturan kewenangan pengelolaan sektor kelautan dari pemerintah kabupaten ke pemerintah provinsi. Untuk menjembatani pengalihan kewenangan pengelolaan sektor kelautan ini, pelibatan masyarakat melalui model kemitraan dengan pembentukan kelompok masyarakat pengawas di tingkat desa dapat menjadi kunci, khususnya mengenai keterbatasan pendanaan dan sumber daya manusia. (MEI)