Sungai Randangan di Kawasan Hutan Popayato-Paguat, Gorontalo (Foto: Burung Indonesia/Jihad)
Tak salah apabila penjelajah mahsyur Alfred Russel Wallace mengatakan Sulawesi memiliki “wajah” yang berbeda dibandingkan pulau-pulau besar lain di Indonesia. Saat menjelajahi Nusantara antara rentang 1856-1859, Wallace terpesona oleh keunikan hidupan liar di pulau ini yang bercirikan keragaman hayati benua Asia dan Australia yang tak ditemukan di pulau lain, termasuk keragaman hayati di Gorontalo. Kawasan hutan di Gorontalo merupakan rumah bagi beragam fauna endemis, seperti maleo senkawor (Macrocephalon maleo), monyet hitam gorontalo (Macaca hecki), babirusa (Babyrousa celebensis), hingga tarsius sulawesi (Tarsius tersier).
Gorontalo terletak di jazirah bagian utara Sulawesi dan memiliki kawasan hutan yang luas; membentang dari Kabupaten Pohuwato hingga Kabupaten Boalemo yang saling terhubung dalam satu bentang alam. Sejak 2009, Burung Indonesia bersama para pihak—termasuk dengan Pemerintah Daerah Gorontalo—berupaya mendorong model pengelolaan bentang alam yang berkelanjutan.
Model pengelolaan yang didorong oleh Burung Indonesia di Gorontalo ini berupaya memperkuat konektivitas kawasan hutan Popayato-Paguat, memulihkan hutan alam, serta mengembalikan dan meningkatkan fungsi ekologi dan ekonomi masyarakat sekitar hutan melalui pendekatan restorasi ekosistem. Kelestarian hutan Popayato-Paguat pun berperan penting untuk mencegah banjir dan longsor, serta mendukung ketahanan ekosistem terhadap perubahan iklim.
Konektivitas hutan Popayato-Paguat sebagai satu kesatuan ekosistem tidak hanya akan melestarikan hidupan liar, tetapi juga menjaga sumber daya alam yang berada di dalamnya. Sebab, kedua kawasan hutan ini merupakan sumber mata air untuk empat sungai besar di Gorontalo, yakni Sungai Paguyaman, Sungai Malango, Sungai Taluditi dan Sungai Wonggahulu.