ada 2005, IUCN menempatkan spesies gagak endemis dari Banggai Kepulauan sebagai spesies terancam punah kategori Kritis (Critically Endangered/CR) hanya berdasarkan dua spesimen yang dikoleksi pada tahun 1884-1885. Status keterancaman ini meningkat dari kategori sebelumnya, Genting (Endangered/EN). Pada tahun itu juga, gagak banggai mendapatkan label “kemungkinan punah” (possibly extinct) oleh IUCN.
Label tesebut diberikan pada taksa yang berdasarkan bukti menunjukkan tanda-tanda kepunahan, meskipun taksa tersebut mungkin belum benar-benar hilang. Taksa dianggap punah jika survei yang memadai tidak menemukan spesies tersebut dan laporan lokal maupun yang tidak dikonfirmasi sudah ditelusuri dan dipertimbangkan.
Kekhawatiran terhadap keberadaan gagak banggai terus bertambah seiring dengan berkurangnya hutan alam dataran rendah di Banggai Kepulauan yang didominasi batuan koral dan kapur. Selama 115 tahun sejak spesimen dikoleksi, tidak ada catatan perjumpaan spesies ini lagi, bahkan pada ekspedisi yang dijalankan pada 1981, 1991, dan 1996. Spesies gagak yang terlihat hanyalah gagak hutan. Diduga, di habitat dataran rendah yang terganggu, gagak hutan menggantikan relung gagak banggai. Deforestasi yang marak di kepulauan tersebut memperkuat dugaan bahwa gagak banggai mungkin telah punah.
Dua spesimen gagak banggai yang tersimpan di American Museum of Natural History hanya mencantumkan “Banggai” sebagai lokasi koleksi, tanpa menyebutkan pulau atau lokasi yang lebih spesifik. Padahal, Banggai adalah gugusan kepulauan di selatan semenanjung timur Pulau Sulawesi.
Tidak seperti gagak lainnya, anggota suku Corvidae yang berukuran kecil (39 cm) ini tidak dapat dijumpai di habitat yang telah dimodifikasi. Gagak banggai hanya ditemukan di hutan yang utuh, berbeda dengan gagak lain yang diuntungkan oleh perubahan hutan alam menjadi perkebunan dan permukiman. Gagak banggai mirip dengan gagak endemis di Kepulauan Nusantara lainnya, seperti gagak flores, gagak sulawesi, dan gagak halmahera.
Perjumpaan seekor gagak berukuran lebih kecil dengan paruh dan ekor yang lebih pendek pada tahun 1991 di hutan lereng barat Pegunungan Pulau Peling pada ketinggian 660 mdpl masih belum bisa dipastikan. Pulau Peling dikunjungi berulang kali pada tahun 2004, 2006, dan 2007 oleh sekelompok pengamat dan peneliti burung. Hasilnya, gagak banggai berhasil ditemukan kembali.
Data ekologis dan populasi gagak banggai ini akhirnya dapat ditentukan. Diperkirakan lebih dari 90 persen populasinya terkonsentrasi di lereng barat hutan perbukitan pada ketinggian 900 mdpl, dengan sejumlah individu dewasa lainnya ditemukan pada ketinggian lebih rendah di bagian tengah pulau seluas 2.325 km² tersebut.
Saat ini, upaya konservasi terhadap gagak banggai semakin ditingkatkan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perlindungan habitat alami dan program restorasi di Banggai Kepulauan mulai membuahkan hasil positif. Penemuan kembali populasi gagak banggai memberikan harapan baru bagi konservasi spesies ini. Para peneliti terus memantau populasi dan habitatnya untuk memastikan kelangsungan hidup gagak banggai di tengah ancaman deforestasi dan perubahan iklim yang terus berlangsung.
Selain itu, upaya edukasi kepada masyarakat lokal tentang pentingnya pelestarian hutan dan spesies endemis juga sedang digencarkan. Diharapkan dengan partisipasi aktif dari masyarakat setempat, konservasi gagak banggai dapat lebih efektif dan berkelanjutan.