Skip to content Skip to footer

#15thnBurungIndonesia: Fasilitator Penetapan Tata Batas Taman Nasional Partisipatif Pertama di Indonesia

Pada dekade 1990-an, tutupan hutan di Pulau Sumba hanya tersisa sekitar 6% dari 55% luasan yang ada saat Belanda pertama kali memetakannya pada 1927. Padahal, bagi masyarakat Sumba, keberadaan hutan begitu penting. Hutan bukan hanya tempat masyarakat beraktivitas, tetapi juga menjadi lokasi penting bagi penganut kepercayaan marapu.

Di luar terbatasnya ekosistem pendukung fungsi layanan alam seperti hutan, Sumba merupakan salah satu kawasan penting bagi keragaman hayati global. Pulau ini menjadi rumah bagi beragam jenis flora dan fauna endemis seperti julang sumba (Rhyticeros everetti), walik rawamanu (Ptilinopus dohertyi), dan anak jenis kakatua-kecil jambul-kuning yakni kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata). Karena keunikan ekosistem dan kekayaan jenis hidupan liarnya, BirdLife International menetapkan Sumba menjadi satu dari 23 Daerah Burung Endemis di Indonesia dan memiliki 24 Daerah Penting bagi Keragaman Hayati (Key Biodiversity Area/KBA).

Baca juga: Konservasi Kakatua Sumba, Sebuah Permulaan

Salah satu KBA yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai kawasan konservasi yakni Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Burung Indonesia merupakan fasilitator pemetaan dan penetapan tata batas taman nasional partisipatif yang pertama di Tanah Air, yakni melalui Taman Nasional Manupeu Tanah Daru yang secara resmi berdiri pada 3 Agustus 1998 berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 576/Kpts-II/1998.

Kontribusi Burung Indonesia terkait konservasi keragaman hayati di Sumba telah dimulai sejak 1992 melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah dengan mendorong pengelolaan kawasan konservasi melalui tata batas partisipatif yang melahirkan Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD). Sedangkan pendekatan kedua dengan cara mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan menjalin kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil.

Baca juga: Merestorasi Hutan Dataran Rendah Terakhir di Pulau Sumatera

Pendekatan tersebut berhasil menghimpun sejumlah kelompok masyarakat yang berasal dari 22 desa di sekitar Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan tergabung dalam Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan (KMPH). Kelompok ini kemudian secara aktif mendorong diskusi mengenai akses sumber daya alam di sekitar taman nasional, dan bahkan mampu memantau sumber daya alam desa serta taman nasional dari upaya penebangan liar, perburuan satwa, dan pembakaran lahan.

Burung Indonesia memfasilitasi anggota KMPH untuk membuat dokumen KPAD yang bertujuan agar dapat menjadi bagian dari musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) dan direplikasi menjadi peraturan desa, bahkan hingga ke tingkat kabupaten. Kelompok masyarakat ini lalu berjejaring dalam Forum Jaringan Manupeu-Tanadaru untuk menindaklanjuti kesepakatan yang telah dibuat.

Baca juga: 10 Tahun Jejak Burung Indonesia di Tanah Halmahera

Penataan batas taman nasional secara partisipatif yang didorong Burung Indonesia berhasil memperkuat kapasitas kelompok masyarakat yang berani mengawal aspirasi masyarakat dan memiliki peran penting dalam pengelolaan bentang alam yang produktif dan lestari. Hal itu tercermin dalam pengelolaan kawasan hutan lindung dan hutan produksi melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang tetap kokoh dipraktikkan hingga saat ini.

***

Penerbitan artikel ini merupakan bagian dari rangkaian publikasi menyambut ulang tahun Burung Indonesia yang ke-15 tahun. Setiap tanggal 15 selama 2017 kami akan mempublikasikan beragam artikel mengenai capaian-capaian terbaik yang telah Burung Indonesia raih selama 15 tahun bekerja di rumah bagi 1769 jenis burung ini.

id_ID