Permakultur menjadi program paling menarik dan mendapatkan tempat di hati dan pikiran masyarakat peserta sosialisasi awal di sepuluh kampung dampingan Burung Indonesia di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Beberapa praktik baik dan keberhasilan praktik permakultur di program sebelumnya membuat masyarakat tertarik dan penasaran untuk mempraktikkannya sendiri. Pertanian berkelanjutan permakultur juga membuat masyarakat yakin dan bersedia bekerja sama dengan Burung Indonesia selama lima tahun ke depan.
Menurut Soekarno, warga Kampung Pelelangen, pertanian menjadi masalah yang paling dihadapi masyarakat saat ini, mulai dari isu kesuburan tanah, hama penyakit, ketidaktersediaan pupuk, hingga praktik ladang berpindah di dalam kawasan hutan lindung. Praktik ladang berpindah memang masih banyak ditemukan di sepuluh kampung dampingan. Kurangnya pengetahuan terkait kesuburan tanah dan penanggulangan hama membuat masyarakat lebih memilih membuka kebun jauh di dalam hutan.
Meski jauh, membuka ladang di dalam hutan dianggap lebih efektif karena minim perawatan. Setelah membuka lahan dan menanam bibit, masyarakat hanya perlu membersihkan ladang satu hingga dua kali saja dalam sebulan. Hingga tiba masa panen, masyarakat tidak perlu repot menyiram dan memberikan pupuk pada tanaman di dalam hutan, karena dianggap sudah subur.
Masyarakat mengaku banyak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah melalui kelompok tani untuk pertanian, tetapi permasalahan pupuk dan hama menjadi penyebab tidak maksimalnya hasil pertanian di kampung. Selain itu, bantuan dari pemerintah yang tidak merata dan tidak berkelanjutan membuat beberapa kelompok tani harus berhenti. Harga pupuk dan pestisida yang mahal, membuat masyarakat tergantung pada bantuan pemerintah.
Praktik permakultur yang dipaparkan saat sosialisasi awal di sepuluh kampung diharapkan menjadi alternatif dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Pelatihan dan peningkatan kapasitas dalam pembuatan pupuk dan pestisida organik diharapkan dapat menjadi solusi terkait mahalnya harga pupuk dan tidak adanya bantuan pemerintah. Dengan ketersediaan pupuk, diharapkan masyarakat tidak perlu lagi membuka kebun yang jauh di dalam hutan.
Permakultur menjadi daya tarik program
Dari delapan pokok bahasan pada sosialisasi awal, program permakultur dirasa menjadi yang paling menarik dan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Masyarakat bertanya-tanya bagaimana permakultur dapat menjadi solusi bagi kegiatan pertanian untuk meningkatkan perekonomian, namun dengan tetap menjaga kelestarian alam.
Salah satu tanggapan positif muncul dari Kampung Belengang yang telah memiliki kelompok tani dan kebun pekarangan, tetapi tidak aktif karena kondisi tanah yang kurang subur meskipun sudah diberi pupuk sehingga tanaman tidak dapat tumbuh. Tanggapan menarik lainnya juga disampaikan oleh Susana Djarang, salah satu perwakilan kelompok tani dari Kampung Bowongkali. Saat ini kelompok tani tersebut sudah bubar karena tidak ada bantuan pupuk lanjutan dari desa.
Kemudian beliau juga menyampaikan ketertarikan dari masyarakat untuk dapat dilatih bagaimana caranya membuat pupuk organik sendiri. Minat tersebut muncul selain karena mahalnya harga pupuk, juga kesadaran yang mulai tumbuh di masyarakat terkait bahaya yang diakibatkan oleh penggunaan pupuk kimia. Program permakultur ini nantinya diharapkan secara bertahap dapat mengubah pola pertanian ladang berpindah yang selama ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat di kaki Gunung Sahendaruman.