Skip to content Skip to footer

Berharap Hidup di Hutan Harapan

Pulau Sumatera memiliki hutan dataran rendah yang memrepresentasikan sekitar 20 persen keanekaragaman hayati pulau tersebut. Selain menjadi surga bagi keanekaragaman hayati, kawasan hutan ini juga menjadi rumah bagi Suku Batin Sembilan yang secara tradisional hidup nomaden di hutan. Suku Batin Sembilan dan hutan memiliki hubungan emosional yang erat. Keberadaan keduanya saling berkaitan dan bergantung satu sama lain.

Namanya Teguh Santika, perempuan yang lahir dan besar sebagai bagian dari Suku Batin Sembilan di Jambi membuatnya hidup di kawasan hutan sejak matanya terbuka. Sewaktu kecil, ia bersama keluarganya hidup nomaden di dalam hutan. Keberadaan sungai menjadi patokan lokasi bermukim kelompoknya. Menurutnya, area di sekitar sungai menyediakan berbagai hal untuk mencukupi kehidupan mereka, seperti ikan, damar, rotan, dan jernang. Mereka akan pindah ke lokasi baru untuk mencari sumber daya tersebut di tempat lain.

“Masa kecil bibi dulu dibawa bapak, orang tua bibi, kami pindah-pindah,” kata Teguh.

Saat ini, kawasan hutan yang menjadi tempat tinggal Teguh dan Suku Batin Sembilan lainnya masuk dalam area restorasi ekosistem yang dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), yakni Hutan Harapan. Restorasi ekosistem dilakukan guna mendukung keberlanjutan hutan serta kehidupan di dalamnya. Termasuk juga dengan masyarakat adat yang tinggal di dalamnya, seperti Suku Batin Sembilan. Kebergantungan kelompok tersebut dengan hasil hutan bukan kayu menjadikan Suku Batin Sembilan dan PT REKI berkolaborasi dalam upaya menjaga hutan.

Bi Teguh, begitu biasanya ia dipanggil, lahir dan menggantungkan penghidupannya dari hasil hutan bukan kayu di kawasan Hutan Harapan. (Foto: Hutan Harapan/Ardi Wijaya)

Teguh menceritakan, hutan adalah sumber kehidupan bagi ia dan sukunya. Menurutnya, jika hutan hilang, maka cuaca akan semakin panas, banyak penyakit yang muncul, dan mata pencaharian akan hilang. Sayangnya, hutan tersebut sedang dihadapkan oleh berbagai masalah, salah satunya perambahan liar. Selain menebang pohon untuk diambil kayunya, para perambah juga membuka lahan untuk dijadikan perkebunan sawit. Maka dari itu, sejak dulu Teguh bersama dengan anggota masyarakat lainnya menjadi bagian dalam upaya perlindungan hutan yang dilakukan oleh PT REKI, misalnya sebagai petugas patroli hutan.

“Dengan kami membantu PT REKI, maka mereka juga dapat membantu kami. Semoga dengan adanya patroli ini dapat memperlambat perambahan liar,” ujar Teguh.

Pada awalnya Suku Batin Sembilan sering menjauh ketika bertemu dengan para perambah liar untuk menghindari konflik antar dua belah pihak. Terkadang, ada juga anggota suku yang melakukan perlawanan kepada perambah, hingga berujung pada kekerasan. Jika sudah seperti itu akan berurusan dengan pihak kepolisian.

Suku Batin Sembilan memiliki aturan jempalo tangan yakni sanksi bagi orang-orang yang merusak hutan. Pihak yang menebang pohon secara sembarangan, sanksi berupa pemotongan tangan dapat menimpanya. Akan tetapi, sanksi ini jarang diterapkan karena ada kekhawatiran terhadap aturan pidana, sehingga mereka memilih untuk menghindari berurusan dengan para perambah. Teguh selalu berharap keberadaan Hutan Harapan dapat lestari dan terus menjadi rumahnya. Menurutnya ia dan orang-orang Batin Sembilan lainnya tidak akan bisa hidup di kota. Mereka tidak memahami cara bertahan hidup selain di dalam hutan. Maka dari itu, jika hutan terus ada tentunya akan menjadi rumah bagi anak dan cucunya di generasi mendatang.

Search

Burung Indonesia adalah anggota kemitraan global BirdLife International
© 2022 Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia)

en_USEnglish