Kacamata togian merupakan jenis burung yang relatif baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Jenis burung endemis Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah ini baru dideskripsikan pada 2008.
“Hal ini terbilang unik, karena jenis ini ditemukan baru-baru ini tetapi bukan di tempat terpencil,” ujar Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia. Kacamata togian menghuni dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Burung yang namanya di ambil dari Bapak Ornithologi Indonesia, Prof. Somadikarta ini, dapat ditemukan hidup berkelompok di semak-semak dekat hutan mangrove, kebun campuran kelapa, maupun hutan yang relatif terbuka.
Burung ini pertama kali teramati pada Agustus 1996 di Pulau Malenge oleh Mochamad Indrawan dan Sunarto dari Universitas Indonesia. Selanjutnya oleh kedua peneliti yang sama, jenis kacamata ini kembali teramati pada Juni 1997 dan Mei 2001. Jenis kacamata ini mencuri perhatian para peneliti tersebut lantaran memiliki dahi hitam layaknya kacamata dahi-hitam Zosterops atrifrons yang banyak dijumpai di daratan Sulawesi, tetapi tidak memiliki lingkaran putih di sekeliling mata.
Indrawan kemudian mengambil spesimen kacamata ini dan pada 2008 spesimen yang disimpan di Museum Zoologi Bogor tersebut dibandingkan dengan jenis kacamata lain di Wallacea. Hasilnya, kacamata dari Kepulauan Togian tersebut terbukti berbeda dalam hal proporsi tubuh, warna hitam lebih sempit dibanding pada atrifrons, dan paruh yang lebih tipis. Selain itu, dari segi vokalisasi atau suara, kacamata ini juga berbeda dari jenis kacamata lainnya. Karena itu, burung ini kemudian ditetapkan sebagai jenis baru.
“Ketika pertama kali dideskripsikan, burung ini diusulkan sebagai jenis Genting mengingat daerah sebarannya yang terbatas dan terfragmentasi,” ujar Jihad. Namun, karena jenis ini ternyata dapat beradaptasi dengan perubahan habitat dan aktifvitas manusia, statusnya kemudian diturunkan. Saat ini, badan konservasi dunia IUCN menetapkan kacamata togian dalam status mendekati terancam punah.*